26 Agustus 2015

Agresi Militer Belanda I dan Politik Adu Domba

Tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer I di Indonesia yang belum 2 tahun merdeka. Saat itu diputuskan untuk menempuh jalur militer tersebut, dengan dalih penafsiran Perjanjian Linggarjati, bahwa Indonesia merupakan Negara Federal yang masih di bawah kekuasaan dari Negeri Kincir Angin tersebut. Sementara, bagi Indonesia, operasi Agresi Militer Belanda tersebut telah melanggar Perjanjian Linggarjati, yaitu pada kesepakatan yang diwakili masing-masing delegasi Sutan Syahrir dan Pro. Schermerhorn, Belanda mengakui Indonesia secara de facto.

Aksi Polisionil Belanda yang pertama
Agresi ini diawali dengan ultimatum yang dilontarkan van Mook pada 15 Juli 1947. Ia meminta tentara Indonesia untuk mundur sejauh 10 km dari garis demarkasi di beberapa wilayah tanah air. Pimpinan Republik Indonesia (RI) kala itu menolak permintaan Belanda.

Sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai aksi polisional, yakni suatu gerakan penjajah Belanda untuk memulihkan masalah keamanan, dan menyatakan tindakan tersebut sebagai urusan dalam negeri. Selain itu juga menyatakan tindakan yang bertujuan merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya sumber daya alam, terutama minyak, sebagai urusan dalam negeri.

Saat itu juga, van Mook menyampaikan pidato yang disiarkan radio, yang menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Linggarjati. Sementara, tentara Belanda ketika itu dalam kondisi siap, dengan jumlah mencapai lebih dari 100.000 orang dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan Australia.

Dalam agresi ini, Belanda mengerahkan dua pasukan khusus, yakni Korps Speciale Troepen (KST/pengembangan dari DST) dan Pasukan Para I (1e para compagnie) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi.

Tentara Belanda mulai menerobos, menggempur, dan merebut daerah-daerah vital (seperti kota pelabuhan, perkebunan, dan pertambangan) yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Banyak warga yang jadi korban. Hingga kini, belum ada sumber pasti tentang jumlah korban akibat agresi tersebut.

Pada hari kesembilan agresi, pesawat yang membawa obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya dari Singapura ditembak jatuh oleh Belanda. Akibatnya, Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara Abdulrachman Saleh, dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo gugur.

Atas serangkaian agresi Belanda ini, Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB lantaran telah melanggar perjanjian Linggarjati dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Inggris angkat suara dan tidak lagi menyetujui tindakan Belanda yang menempuh penyelesaian secara militer.

Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947, agresi militer Belanda diajukan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB yang kemudian menelurkan Resolusi Nomor 27 tanggal 1 Agustus 1947. Isi resolusi tersebut menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Kemudian, Dewan Keamanan PBB secara de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947. Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama Indonesia, bukan Netherlands Indies. Selain itu, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.

Politik Adu Domba
Seperti dimuat situs Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B.) yang didirikan sejumlah warga keturunan Indonesia di Belanda, atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Iring-iringan truk infanteri Belanda saat Operatie Product
17 Agustus 1947, Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata. Kemudian, pada 25 Agustus 1947, Dewan Keamanan membentuk Committee of Good Offices for Indonesia atau Komite Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Dalam perundingan di atas Kapal Renville yang dimediasi tiga negara ini, Indonesia diwakili Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap, sedangkan Belanda diwakili Abdul Kadir Wijoyoatmojo yang merupakan warga pribumi. Dalam hal ini, Belanda disebut berhasil melancarkan politik divide et impera yang mengiming-imingi Wijoyoatmojo harta dan jabatan.

Saat itu, Belanda masih bersikukuh, yakni tidak bersedia mundur ke batas demarkasi sebelum agresi militer dan tetap mempertahankan batas demarkasi baru yang dinamakan "Garis van Mook" sebagai hasil agresi militer mereka.

Garis van Mook itu untuk Belanda merupakan "Dream Line" (garis impian) karena, dengan begitu Belanda memperoleh penambahan wilayah yang sangat besar, baik di Sumatera maupun di Jawa, terutama daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh Belanda, seperti minyak dan hasil pertambangan lain.

Tanggal 17 Januari 1948, ditandatangani kesepakatan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda, yang kemudian dikenal sebagai "Persetujuan Renville."

Namun, sejak Pemerintah RI dan Belanda pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk diadakannya gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai pasukan non-TNI, meski sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.

Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik Indonesia harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI. Pada Februari 1948, Divisi Siliwangi "hijrah" ke Jawa Tengah dan "penjajahan" belum selesai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar