11 Mei 2017

Siddhartha Gautama


Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia kemudian menjadi Buddha (secara harfiah: orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang bijak dari kaum Sakya') dan sebagai Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha. Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Agung (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian besar sejarawan dari awal abad ke 20 memperkirakan kehidupannya antara tahun 563 SM sampai 483 SM, ada juga yang menyebut tahun 623 SM sampai 543 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para ahli akan masalah ini, sebagian besar dari ilmuwan yang menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara tahun 400 SM untuk waktu meninggal dunianya, sedangkan yang lain menyokong perkiraan tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.

Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong untuk menerima biografi Buddha yang dijelaskan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakangan ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Buddha."

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahāmāyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Pangeran. Setelah meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahāmāyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Sejak kecil sudah terlihat bahwa Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana, di mana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Channa. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup suci sebagai pertapa.

Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputta, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian dia bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya dia juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.

Di dalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela, di tepi Sungai Nairanjana(Naranjara) yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruvela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.

Nasihat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asattha) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Dia putus asa menghadapi godaan Mara, dewa penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan keyakinan yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Samma sam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Siddhi di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru (nila) yang berarti bhakti; kuning (pita) mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah (lohita) yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putih (Avadata) mengandung arti suci; jingga (mangasta) berarti semangat ; dan campuran sinar tersebut (prabhasvara)

Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Sakyamuni, Tathagata ('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi Dia di hutan Uruvela merupakan murid pertama Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana Sutta, di mana Dia menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai Parinibbana.

Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu

  1. Berusaha menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
  • Ucapan (vaci): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
  • Pikiran (mano): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sebagai Buddha, Dia telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai cara. Dia telah berusaha untuk meringankan penderitaan banyak makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakikat dunia, Ia menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Ia tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Dalam mengajar umat manusia yang mendambakan lenyapnya Dukkha, Dia menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai kesempatan yang pada hakikatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakikat yang hakiki dari seorang Buddha. Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Buddha adalah Raja Dharma yang agung. Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Buddha tidak hanya dapat mengetahui dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang benar untuk mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan mempraktekkan jalan mulia berunsur delapan. Buddha sejati bukanlah wujud jasmani, sehingga Sifat Agung seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Agung Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan untuk melihat dan mengetahui Buddha dengan benar.


Sumber: Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar