5 Desember 2013

Pimpin Pasukan Urung Melawan Penjajah

Kiras Bangun
 
Pahlawan kebanggaan Tanah Karo ini menggalang kekuatan lintas agama dan lintas suku di Sumatera Utara dan Aceh untuk menentang penjajahan Belanda.

Kiras Bangun, pejuang Batak Karo melawan kolonialis Belanda adalah putera pasangan Tanda Bangun dan Ibu Beru Ginting. Ia dilahirkan di Kampung Batu Karang, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1852. Ayahnya memiliki 3 orang isteri. Kiras Bangun lima bersaudara, satu perempuan dan empat laki-laki.

Kiras Bangun tidak pernah mengenyam pendidikan formal, karena pada waktu itu sekolah belum dikenal di Tanah Karo. Kiras Bangun diangkat menjadi Ketua Adat Karo Lima Senina dan kemudian menjadi Penghulu Lima Senina di Batu Karang.

Berkat kewibawaan dan kemampuannya dalam menyelesaikan suatu masalah, Kiras Bangun sering ditunjuk menjadi juru damai antar urung (satu kelompok kampung/kumpulan kampung). Pihak-pihak yang bersengketa pun menerimanya sebagai pendamai. Ia juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang arif, tegas dan berwibawa. Dengan kepribadian tersebut, ia dapat mempersatukan sejumlah pimpinan atau raja Telu Kuru, Si Empat Teran, Si Lima Senina Perbesi dengan Kuala, Sepuluh Pitu dan Juhar. Tidak heran jika Kepala Kampung mengakuinya sebagai primus inter pares (yang pertama diantara yang sama).

Pada tahun 1901, Belanda membuka markasnya di Kabanjahe, Kabupaten Karo. Kuatnya pengaruh ketokohan Kiras Bangun tidak luput dari perhatian pemerintah kolonial Belanda sehingga mengajak Kiras Bangun untuk bekerjasama dengan imbalan jabatan, uang dan senjata, namun tawaran itu ditolak Kiras Bangun. Setahun kemudian Belanda kembali menawarkan kerjasama padanya, kali ini dengan mengirimkan pendeta Protestan. Kiras Bangun masih tetap pada pendiriannya untuk tidak bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda, sang pendeta pun diusirnya.

Penolakan dan pengusiran yang dilakukannya itu membuat Belanda marah. Untuk menghadapi Belanda, rakyat bersepakat untuk membangun benteng pertahanan berupa parit. Kiras Bangun ditetapkan sebagai pemimpin tertinggi perlawanan untuk menyerbu Kabanjahe berdasarkan hasil musyawarah. Belanda pun berhasil diusir keluar dari Kabanjahe setelah tiga bulan menguasai wilayah itu.

Setelah peristiwa itu, Kiras Bangun kemudian menggalang kekuatan dengan pejuang dari Aceh. Kerjasama lintas agama pun digalangnya seperti dengan para pejuang-pejuang dari Aceh di Tanah Alas, Gayo Lues, Singkil dan pejuang dari Aceh Selatan. Dalam perjuangan menentang Belanda, Kiras Bangun yang memiliki nama lain Gara Mata ini dibantu para tokoh dari Aceh Tenggara dan Aceh Selatan. Gara Mata mengadakan pertemuan urung di Tiga Jeraya sehingga mampu mengerahkan ribuan orang mengangkat sumpah setia melawan Belanda. Kerjasama yang digalang dari lintas suku dan agama itu menghasilkan pasukan yang disebut pasukan Sembisa/Urung yang bertujuan :
  • Mengusir Belanda sebab mengubah cara tata krama kehidupan rakyat Karo;
  • Kalau Belanda datang semua rakyat Karo akan melawan; dan
  • Untuk menghimpun tenaga pasukan yang kuat.

Setahun kemudian, terjadi pertempuran antara pasukan Urung dengan Belanda. Korban jiwa pun berjatuhan, sebanyak 20 orang pasukan Urung tewas di Sulalapi, sementara dari kubu Gara Mata sebanyak 10 orang tewas di Lingga, dan 30 orang tewas di Lingga Julu.

Ketika terjadi pertempuran di Batu Karang, Belanda yang saat itu sudah menduduki Kabanjahe diultimatum oleh Kiras Bangun. Tapi ultimatum tersebut tidak ditanggapi dan pertempuran pun kembali terjadi. Karena peralatan yang tidak seimbang maka pasukan Kiras Bangun menerapkan strategi menyerang, melarikan diri lalu berbaur dengan penduduk setempat.

Ketidakseimbangan kekuatan menimbulkan korban jiwa paling banyak dari kubu Kiras Bangun yaitu sebanyak 30 orang tewas sementara korban dari pihak Belanda hanya berjumlah 3 orang. Pasukan Kiras Bangun pun mundur ke Negeri yang terletak 3 km dari Batukarang yang dipisah oleh Lau Biang yang bertebing terjal, kemudian menuju Lenggamanik.

Walaupun dalam kondisi terpencar, namun keesokan harinya pasukan Urung Gara Mata dapat dikoordinasikan kembali dengan berkumpul di Kuala. Belanda terus melakukan pengejaran, pasukan Kiras Bangun yang terdesak bergerak menuju Liren, Kua Gamber Kemawa, Panah dan Lampetandal sebagai basis pertahanan.

Setelah Belanda berhasil menguasai wilayah Batu Karang, sebanyak 200 tentara melakukan pengejaran terhadap tokoh-tokoh Urung, yaitu Kiras Bangun dan Urung yang dikalahkan sebanyak 15 orang supaya membayar kerugian kepada Belanda.

Dengan taktik perang gerilya, Kiras Bangun kemudian menggerakkan perlawanan dari Aceh Tenggara dan Dairi pada tahun 1905. Sementara Belanda menerapkan strategi tipu muslihat oportuniteit beginsel (prinsip oportunitas atau memanfaatkan situasi). Kiras Bangun yang keluar dari tempat persembunyiannya di Dairi kemudian ditangkap dan dibuang di Riung kemudian dilepaskan pada tahun 1909.

Meski sudah dibebaskan antara tahun 1909-1919, Kiras Bangun masih tetap dalam pengawasan oleh pasukan Marsose Belanda. Dibantu kedua anaknya, Kiras Bangun memimpin gerakan bawah tanah antara tahun 1919-1926 sampai perlawanan di Tanah Karo pun meletus. Anak Kiras Bangun yang ikut membantu perjuangan sang ayah itu dibuang ke Cipinang.

Prinsip Kiras Bangun yang anti-Belanda secara konsisten tetap dipertahankannya melalui bidang kemanusiaan antara tahun 1926-1942. Kiras Bangun meninggal dunia pada 22 Oktober 1942 di Batu Karang. Perjuangan Kiras Bangun memberikan nilai keteladanan dimana ia dapat menyatukan suku-suku bangsa yang berbeda adat istiadat maupun agama untuk melawan penjajah. Atas jasa-jasanya kepada negara, Kiras Bangun dianugerahi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 082/TK/Tahun 2005, tanggal 7 November 2005.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar