24 Januari 2012

Soedirman Panglima Besar TNI


Jenderal Soedirman adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Purbalingga. Beliau merupakan panglima besar Tentara Nasional Indonesia yang pertama dan seorang perwira tinggi pada masa Revolusi Nasional Indonesia. 

Jenderal Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem tepatnya pada tanggal 24 Januari 1916 di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga. Ia diberi nama Soedirman oleh pamannya yang bernama Cokrosunaryo. Dalam ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972 namanya dieja menjadi Sudirman. 

Saat Soedirman berusia enam tahun, ayahnya meninggal dunia. Kemudian Cokrosunaryo mengadopsi Soedirman. Ia dibesarkan dengan baik juga diajarkan beretika dan tata krama yang baik, serta diajarkan untuk hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah anak yang taat pada agama, ia mempelajari ilmu Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar. 

Saat berusia tujuh tahun, Soedirman bersekolah di Sekolah Pribumi (Hollandsch Inlandsche School), namun ia pindah ke Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Kemudian melanjutkan sekolah menengah di Wirotomo. Kemudian ia melanjutkan ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo. 

Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman tinggal keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah, kemudian ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. 

Pada tahun 1936 Soedirman menikah dengan Alfiah, dulu merupakan teman sekolahnya dan merupakan putri dari seorang pengusaha batik yang bernama Raden Sastroatmojo. Ia dikarunia tujuh orang anak; Ahmad Tidawono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjudi Satyaningrum. 

Dikisahkan dari salah satu seorang murid-nya mengatakan bahwa Soedirman merupakan guru yang adil dan sabar dalam mendidik muridnya. Ia juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang moderat dan demokratis tidak hanya itu, ia juga aktif sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Pada tahun 1937, ia diangkat sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Istrinya juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah. 


Pendidikan Militer di Tentara Pembela Tanah Air (PETA) 

Pada awal tahun 1942, Jepang mulai menduduki Indonesia setelah memenangkan beberapa pertempuran melawan pasukan militer Belanda. Tepatnya pada tanggal 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwe dan Jenderal KNIL Hein ter Poorten menyerah. 

Peristiwa ini menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan nusantara banyak masyarakat pribumi yang menderita dan mengalami pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang. 

Pada tahun 1944, Soedirman diminta untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA), merupakan kesatuan militer yang dibentuk oleh Jepang pada tanggal 3 Oktober 1943 untuk membantu Jepang dalam menghalau serangan sekutu. 

Soedirman mulai masuk dan berlatih di Bogor, Jawa Barat. Ia dijadikan sebagai komandan dan dilatih oleh perwira dan tentara Jepang, para tentara dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan, ia diangkat sebagai Komanda Batalyon di Kroya, Banyumas, Jawa Tengah. 


Revolusi Nasional 

Pengeboman yang terjadi di kota Hiroshima dan Nagasaki membuat Jepang dalam ambang kehancuran, berita tersebut berhasil masuk ke Indonesia pada awal bulan Agustus 1945, dan diikut oleh peristiwa kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. 

Peristiwa tersebut membuat kontrol Jepang mulai melemah. Situasi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Soedirman, akhirnya ia memimpin pelarian dari pusat penahanan dari Bogor. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA. 

Soedirman bertemu dengan Soekarno di Jakarta, kemudian Soekarno memintanya untuk mempimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di Kota, namun Soedirman menolaknya dengan alasan tidak terbiasa dengan lingkungan di Jakarta. Soedirman bergabung dengan pasukannya di Kroya pada tanggal 19 Agustus 1945. 

Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa batalion di sana telah dibubarkan. 

Pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura, dan Residen Banyumas, Iwashige. Ia dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka. Sebagian besar senjata ini digunakan oleh unit BKR Soedirman dan sisanya dibagikan kepada batalion lainnya. 

Pada tanggal 5 Oktober Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terdiri dari TKR Darat, TKR Laut, dan TKR Jawatan Penerbangan. TKR mempunyai fungsi, yaitu untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga rakyat Indonesia. Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin sementara. 

Pasukan Inggris, berhasil melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang. 

Soedirman mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang. Pada 20 Oktober, Ia membawahi Divisi V setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda. 

Pada tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR saat berusia 29 tahun, melalui pemungutan suara yang berlangsung dua tahap. Ia berhasil mendapat 22 suara sedangkan Oerip hanya mendapatkan 21 suara. Ia tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff kemudian Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal. 

Tentara gabungan antara Belanda dan Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran besar telah terjadi di Surabaya pada akhir Oktober dan awal November. Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas kualifikasi Soedirman, menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman sebagai pemimpin TKR. 

Pada akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman, kota itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran. 

Soedirman kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. 

Soedirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana. Sekutu berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang. 

Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat nasional. Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945. Posisinya sebagai kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro. Pemerintah Indonesia kemudian mengganti nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat pada tanggal 7 Januari 1946. 

Pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta karena kota Jakarta sudah dikuasai. Pada bulan Januari delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir melakukan negosiasi dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil. 

Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan militer. Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi republik "sampai titik darah penghabisan." 

Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn dan juga melibatkan Soedirman. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengijinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan membawa senjata. 

Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November, perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh para nasionalis Indonesia. Pada tahun 1947, kondisi sudah damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini, ia mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diresmikan. 

Gencatan senjata yang berlangsung setelah Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan Sumatera. 

Pada tanggal 29 Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook merupakan garis yang membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan. 

Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh dokter, ia didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan menghentikan penyebaran penyakit tersebut. 

Ketika berada di rumah sakit, Soedirman dan Nasution berdiskusi mengenai rencana untuk berperang melawan Belanda. Mereka sepakat bahwa perang gerilya, yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling cocok bagi kepentingan mereka. 

Soedirman mengeluarkan perintah umum pada 11 November, dan persiapannya ditangani oleh Nasution. Soedirman dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948. 

Pada tanggal 19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, menyadari serangan itu, kemudian memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih sebagai gerilyawan. 

Soedirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para pemimpin pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota itu akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial. 

Soedirman mendesak presiden dan wakil presiden agar meninggalkan kota dan berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini ditolak. Meskipun dokter melarangnya, ia mendapat izin dari Soekarno untuk bergabung dengan anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atas desakan Sultan Hamengkubuwono IX. 


Perang Gerilya 

Soedirman pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jika dokumen tersebut jatuh ke tangan Belanda. Bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. 

Selama berada di Kretek, Soedirman memberikan perintah kepada tentaranya agar menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri. 

Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan militer untuk menghadapi perlawanan Belanda. Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember ia memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. 

Di Ponorogo, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz lalu memberikan sebuah tongkat untuk Soedirman yang membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur. 

Pada tanggal 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, ia bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. 

Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Ia dan rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo. 

Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lainnya dan dari daerah satu ke daerah yang lainnya. Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap Belanda. 

Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. 

Hutagalung, bersama dengan para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil. Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. 

Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta, dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas. 

Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, maka pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya. 

Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tapi ia menolak untuk membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana. 


Meninggal Dunia 

Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan perang gerilya. Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Soedirman. 

Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal yang sama. Dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949. 

Soedirman terus berjuang melawan penyakit yang dideritanya TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih. Ia menginap di Panti Rapih pada tahun 1949, dan keluar pada bulan Oktober, ia lalu dipindahkan ke sebuah sanatorium di dekat Pakem. Akibat penyakitnya ini, ia jarang tampil di depan publik. 

Soedirman dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember 1949. Di saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. 

Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada tanggal 28 Desember 1949, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara. 

Soedirman wafat di Magelang pada tanggal 29 Januari 1950. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki. Ia dikebumikan di sebelah makam Oerip. 


Penghargaan 

Soedirman dipromosikan menjadi jenderal penuh dan merupakan satu-satunya jenderal termuda yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Tidak hanya itu ia juga telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah pusat antara lain; Bintang Sakti, Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra Adipurna, Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Republik Indonesia Adipurna, dan Bintang Republik Indonesia Adipradana. Pada tanggal 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. 

Rumah masa kecilnya di Purbalingga saat ini menjadi Museum Soedirman, sedangkan rumah dinasnya di Yogyakarta dijadikan Museum Sasmitaloka Jenderal Soedirman, Rumah kelahirannya di Magelang juga dijadikan Museum Soedirman, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967. Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah jalan utama di Jakarta. Patung dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya juga tersebar di seluruh negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar