29 Maret 2010

Enam Serdadu

Wilhelm Grimm and Jacob Grimm

Pada suatu masa ada seorang pria yang hebat, dia telah membaktikan diri pada negara dalam perang, dan mempunyai keberanian yang luar biasa, tetapi pada akhirnya dia dipecat tanpa alasan apapun dan hanya memiliki 3 keping uang logam sebagai hartanya.

"Saya tidak akan diam saja melihat hal ini," katanya; "tunggu hingga saya menemukan orang yang tepat untuk membantu saya, dan raja harus memberikan semua harta dari negaranya sebelum masalah saya dengan dia selesai." 

Kemudian, dengan penuh kemarahan, dia masuk ke dalam hutan, dan melihat satu orang berdiri disana mencabuti enam buah pohon seolah-olah pohon itu adalah tangkai-tangkai jagung. Dan dia berkata kepada orang itu, "Maukah kamu menjadi orangku, dan ikut dengan saya?"

"Baiklah," jawab orang itu; "Saya harus membawa pulang sedikit kayu-kayu ini terlebih kerumah ayah dan ibuku." Dan mengambil satu persatu pohon tersebut, dan menggabungkannya dengan 5 pohon yang lain dan memanggulnya di pundak, dia lalu berangkat pergi; segera setelah dia datang kembali, dia lalu ikut bersama dengan pimpinannya, yang berkata, "Berdua kita bisa menghadapi seluruh dunia."

Dan tidak lama mereka berjalan, mereka bertemu dengan satu orang pemburu yang berlutut pada satu kaki dan dengan hati-hati membidikkan senapannya.

"Pemburu," kata si pemimpin, "apa yang kamu bidik?"

"Dua mil dari sini," jawabnya, "ada seekor lalat yang hinggap pada pohon Oak, Saya bermaksud untuk menembak mata kiri dari lalat tersebut."

"Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin, "Bertiga kita bisa menghadapi seluruh dunia"

Pemburu tersebut sangat ingin ikut dengannya, jadi mereka semua berangkat bersama hingga mereka menemukan tujuh kincir angin, yang baling-baling layarnya berputar dengan kencang, walaupun disana tidak ada angin yang bertiup dari arah manapun, dan tak ada daun-daun yang bergerak.

"Wah," kata si Pemimpin, "Saya tidak bisa berpikir apa yang menggerakkan kincir angin, berputar tanpa angin;" dan ketika mereka berjalan sekitar dua mil ke depan, mereka bertemu dengan seseorang yang duduk diatas sebuah pohon, sedang menutup satu lubang hidungnya dan meniupkan napasnya melalui lubang hidung yang satu.

"Sekarang," kata si Pemimpin, "Apa yang kamu lakukan diatas sana?"

"Dua mil dari sini," jawab orang itu, "disana ada tujuh kincir angin; saya meniupnya hingga mereka dapat berputar."

"Oh, ikutlah dengan saya," bujuk si Pemimpin, "Berempat kita bisa menghadapi seluruh dunia."

Jadi si Peniup turun dan berangkat bersama mereka, dan setelah beberapa saat, mereka bertemu dengan seseorang yang berdiri diatas satu kaki, dan kaki yang satunya yang dilepas, tergeletak tidak jauh darinya.

"Kamu terlihat mempunyai cara yang unik saat beristirahat," kata si Pemimpin kepada orang itu.

"Saya adalah seorang pelari," jawabnya, "dan untuk menjaga agar saya tidak bergerak terlalu cepat Saya telah melepas sebuah kaki saya, Jika saya menggunakan kedua kaki saya, Saya akan jauh lebih cepat dari pada burung yang terbang."

"Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin, "Berlima kita bisa menghadapi seluruh dunia."

Jadi mereka akhirnya berangkat bersama, dan tidak lama setelahnya, mereka bertemu dengan seseorang yang memakai satu topi kecil, dan dia memakainya hanya tepat diatas satu telinganya saja.

"Bersikaplah yang benar! bersikaplah yang benar!" kata si Pemimpin; "dengan topi seperti itu, kamu kelihatan seperti orang bodoh."

"Saya tidak berani memakai topi ini dengan lurus," jawabnya lagi, "Jika saya memakainya dengan lurus, akan terjadi badai salju dan semua burung yang terbang akan membeku dan jatuh mati dari langit ke tanah."

Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin; "Berenam kita bisa menghadapi seluruh dunia."

Jadi orang yang keenam ikut berangkat bersama hingga mereka mencapai kota dimana raja yang menyebabkan penderitaannya akan memulai pertandingan dimana siapapun yang jadi pemenang akan dinikahkan dengan putrinya, tetapi siapapun yang kalah akan dibunuh sebagai hukumannya. Lalu si Pemimpin maju kedepan dan berkata bahwa satu dari orangnya akan mewakili dirinya dalam pertandingan tersebut.

"Kalau begitu," kata raja, "hidupnya harus dipertaruhkan, dan jika dia gagal, dia dan kamu harus dihukum mati."

Ketika si Pemimpin telah setuju, dia memanggil si Pelari, dan memasangkan kakinya yang kedua pada si Pelari.

"Sekarang, lihat baik-baik," katanya, "dan berjuanglah agar kita menang."

Telah disepakati bahwa siapapun yang paling pertama bisa membawa pulang air dari anak sungai yang jauh dan telah ditentukan itu akan dianggap sebagai pemenang. Sekarang putri raja dan si Pelari masing-masing mengambil kendi air, dan mereka mulai berlari pada saat yang sama; tetapi dalam sekejap, ketika putri raja tersebut berlari agak jauh, si Pelari sudah hilang dari pandangan karena dia berlari secepat angin. Dalam sekejap dia telah mencapai anak sungai, mengisi kendinya dengan air dan berlari pulang kembali. Ditengah perjalanan pulang, dia mulai merasa kelelahan, dan berhenti, menaruh kendinya dilantai dan berbaring di tanah untuk tidur. Agar dapat terbangun secepatnya dan tidak tertidur pulas, dia mengambil sebuah tulang tengkorak kuda yang tergeletak didekatnya dan menggunakannya sebagai bantal. Sementara itu, putri raja, yang sebenarnya juga pelari yang baik dan cukup baik untuk mengalahkan orang biasa, telah mencapai anak sungai juga, mengisi kendinya dengan air, dan mempercepat larinya pulang kembali, saat itu dia melihat si Pelari yang telah tertidur di tengah jalan.

"Hari ini adalah milik saya," dia berkata dengan gembira, dan dia mengosongkan dan membuang air dari kendi si Pelari dan berlari pulang. Sekarang hampir semuanya telah hilang tetapi si Pemburu yang juga berdiri di atas dinding kastil, dengan matanya yang tajam dapat melihat semua yang terjadi.

"Kita tidak boleh kalah dari putri raja," katanya, dan dia mengisi senapannya, mulai membidik dengan teliti dan menembak tengkorak kuda yang dijadikan bantal dibawah kepala si Pelari tanpa melukai si Pelari. Si Pelari terbangun dan meloncat berdiri, dan melihat banya kendinya telah kosong dan putri raja sudah jauh berlari pulang ke tempat pertandingan dimulai. Tanpa kehilangan keberaniannya, dia berlari kembali ke anak sungai, mengisi kendinya kembali dengan air, dan untuk itu, dia berhasil lari pulang kembali 10 menit sebelum putri raja tiba.

"Lihat," katanya; "ini adalah pertama kalinya saya benar-benar menggunakan kaki saya untuk berlari"

Raja menjadi jengkel, dan putrinya lebih jengkel lagi, karena dia telah dikalahkan oleh serdadu biasa yang telah dipecat; adn mereka berdua sepakat untuk menyingkirkan serdadu beserta pengikutnya bersama-sama.

"Saya punya rencana," jawab sang Raja; "jangan takut tetapi kita harus mendiamkan mereka selama-lamanya." Kemudian mereka menemui serdadu dan pengikutnya, mengundang mereka untuk makan dan minum; dan sang Raja memimpin mereka menuju ke sebuah ruangan, yang lantainya terbuat dari besi, pintunya juga terbuat dari besi, dan di jendelanya terdapat rangka-rangka besi; dalam ruangan itu ada sebuah meja yang penuh dengan makanan.

"Sekarang, masuklah kedalam dan buatlah dirimu senyaman mungkin," kata sang Raja.

Ketika serdadu dan pengikutnya semua masuk, dia mengunci pintu tersebut dari luar. Dia kemudian memanggil tukang masak, dan menyuruhnya untuk membuat api yang sangat besar dibawah ruangan tersebut hingga lantai besi menjadi sangat panas. Dan tukang masak tersebut melakukan apa yang diperintahkan oleh Raja, dan keenam orang didalamnya mulai merasakan ruangan menjadi panas, tapi berpikir bahwa itu karena makanan yang mereka makan, seiring dengan suhu ruangan yang bertambah panas, mreka menyadari bahwa pintu dan jendela telah dikunci rapat, mereka menyadari rencana jahat sang raja untuk membunuh mereka.

"Bagaimanapun juga, dia tidak akan pernah berhasil," kata laki-laki dengan topi kecil; "Saya akan membawa badai salju yang akan membuat api merasa malu pada dirinya sendiri dan merangkak pergi."

Dia lalu memasang topinya lurus diatas kepala, dan secepat itu badai salju datang dan membuat semua udara panas menjadi hilang dan makanan menjadi beku diatas meja. Setelah satu atau dua jam berlalu, Raya menyangka bahwa mereka telah terbunuh karena panas, dan menyuruh untuk membuka kembali pintu ruangan tersebut, dan masuk kedalam untuk melihat keadaan mereka. Ketika pintu terbuka lebar, mereka berenam ternyata selamat dan terlihat mereka telah siap untuk keluar untuk menghangatkan diri karena ruangan tersebut terlalu dingin dan menyebabkan makanan di meja menjadi beku. Dengan penuh kemarahan, raja mendatangi tukang masak, mencaci dan menanyakan mengapa tukang masak itu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan.

"Ruangan tersebut cukup panas; kamu mungkin bisa melihatnya sendiri," kata tukang masak. Sang Raja melihat kebawah ruangan besi tersebut dan melihat api yang berkobar-kobar di bawahnya, dan mulai berpikir bahwa keenam orang itu tidak dapat disingkirkan dengan cara itu. Dia mulai memikirkan rencana baru, jadi dia memanggil serdadu yang menjadi pemimpin tersebut dan berkata kepadanya, "Jika kamu tidak ingin menikahi putri saya dan memilih harta berupa emas, kamu boleh mengambilnya sebanyak yang kamu mau."

"Baiklah, tuanku Raja," jawab si Pemimpin; "biarkan saya mengambil emas sebanyak yang dapat dibawa oleh pengikutku, dan saya tidak akan menikahi putrimu." Raja setuju bahwa si Pemimpin akan datang dalam dua minggu untuk mengambil emas yang dijanjikan. Si Pemimpin memanggil semua penjahit yang ada di kerajaan tersebut dan menyuruh mereka untuk membuat karung yang sangat besar dalam dua minggu. Dan ketika karung itu telah siap, orang kuat (yang dijumpai mencabut dan mengikat pohon) memanggul karung tersebut di pundaknya dan menghadap sang Raja.

"Siapa orang yang membawa buntalan sebesar rumah di pundaknya ini?" teriak sang Raja, ketakutan karena memikirkan banyaknya emas yang bisa dibawa pergi. Dan satu ton emas yang biasanya diseret oleh 16 orang kuat, hanya di panggulnya di pundak dengan satu tangan.

"Mengapa tidak kamu bawa lebih banyak lagi? emas ini hanya menutupi dasar dari kantung ini!" Jadi raja menyuruh untuk mengisinya perlahan-lahan dengan seluruh kekayaannya, dan walaupun begitu, kantung tersebut belum terisi setengah penuh.

"Bawa lebih banyak lagi!" teriak si Kuat; "harta-harta ini belum berarti apa-apa!" Kemudian akhirnya 7000 kereta yang dimuati dengan emas yang dikumpulkan dari seluruh kerajaan berakhir masuk dalam karungnya.

"Kelihatannya belum terlalu penuh," katanya, "tetapi saya akan membawa apa yang bisa saya bawa." walaupun dalam karung tersebut masih tersedia ruangan yang kosong.

"Saya harus mengakhirinya sekarang," katanya; "Jika tidak penuh, sepertinya lebih mudah untuk mengikatnya." Dan orang kuat itu lalu menaikkan karung tersebut dipunggungnya dan berangkat pergi bersama dengan teman-temannya.

Ketika sang Raja melihat semua kekayaan dari kerajaanya dibawa oleh hanya satu orang, dia merasa sangat marah, dan dia memerintahkan pasukannya untuk mengejar keenam orang itu dan merampas kembali karung itu dari si Kuat. 

Dua pasukan kuda segera dapat mengejar mereka, memerintahkan keenam orang itu untuk menyerah dan menjadi tawanan, dan mengembalikan kembali karung harta itu atau dibunuh.

"Menjadi tawanan, katamu?" kata orang yang bisa meniup, "mungkin kalian perlu menari-nari di udara bersama-sama," dan menutup satu lubang hidungnya, dan meniupkan napas melalui lubang yang satunya, pasukan tersebut beterbangan melewati atas gunung. Tetapi komandan yang memiliki sembilan luka dan merupakan orang yang pemberani, memohon agar mereka tidak dipermalukan. Si Peniup kemudian menurunkannya perlahan-lahan dan memerintahkan agar mereka melaporkan ke sang Raja bahwa pasukan apapun yang dikirim kan untuk mengejar mereka, akan mengalami nasib yang sama dengan pasukan ini. Dan ketika sang Raja mendapat pesan tersebut, berkata,
"Biarkanlah mereka; mereka mempunyai hak atas harta itu." Jadi keenam orang itu membawa pulang harta mereka, membagi-bagikannya dan hidup senang sampai akhir hayat mereka.


by Brothers Grimm

27 Maret 2010

Jadilah Pelita

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita.
Orang buta itu terbahak berkata: “Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok.”


Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu.”

Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta.


Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!”


Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.


Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta.


Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!”


Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!”


Si buta tertegun...


Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.”


Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.”


Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.


Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita.


Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, “Maaf, apakah pelita saya padam?”


Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.”
Senyap sejenak.


secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang buta?”


Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya.,” sembari meledak dalam tawa.


Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.


Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta.


Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”


Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!).


Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan “pulang”, ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.


Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk “membuta” walaupun mereka bisa melihat.


Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.


Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.


Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.


Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita.


Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi.


Bila mata tanpa penghalang, hasilnya adalah penglihatan. Jika telinga tanpa penghalang, hasilnya adalah pendengaran. Hidung yang tanpa penghalang membuahkan penciuman. Fikiran yang tanpa penghalang hasilnya adalah kebijaksanaan.

Sumber: emotivasi.com

23 Maret 2010

Refleksi Kehidupan

Sudah hampir 15 tahun pak Pius menjalani profesinya sebagai buruh bagian mesin di sebuah pabrik elektronik. Tahun 1999, pabrik tempat pak Pius bekerja melakukan relokasi ke Malaysia, semua buruhnya ter-PHK dengan pesangon yang cukup memadai.

Pak Pius yang selama bekerja hanya mengenal mesin pabrik, tiba-tiba harus banting stir mencari alternatif pekerjaan lain. Usianya yang sudah melampaui 40 tahun saat itu sangatlah sulit untuk ikut bersaing mendapatkan pekerjaan baru.

Keluarga pak Pius yang cukup terpukul dengan kondisi ini akhirnya berembug untuk merencanakan usaha lain. Dari hasil diskusi dengan isteri dan anaknya, akhirnya pak Pius dan keluarganya sepakat untuk memanfaatkan pesangon seefektif dan seefisien mungkin. Separoh pesangon ditabung, separohnya lagi dimanfaatkan untuk membayar hutang-hutang dan untuk membuka usaha warung sayur di depan rumahnya.
 
Mereka mulai membagi tugas. Setiap subuh pak Pius berangkat ke pasar induk untuk belanja, sementara isterinya menyiapkan warung di rumah sambil mengurus anak-anak mereka yang akan berangkat sekolah. Pada awal mula usaha ini dirintis, banyak sekali mengalami masalah dan tantangan. Banyak sayuran busuk dan terbuang percuma, belum lagi cacian pembeli karena pak Pius belum memiliki ketrampilan membungkus pesanan dan memberi harga yang pantas. Namun, mereka tetap konsisten dan belajar dari tukang sayur yang lain yang lebih pengalaman sehingga lama kelamaan mereka memiliki pelanggan.

Setelah sepuluh tahun berusaha, warung pak Pius semakin lengkap dan besar. Tidak hanya berjualan sayur mayur namun juga sembako. Pak Pius masih tetap ke pasar tiap subuh, sehingga para pedagang di pasar sudah sangat mengenal pak Pius dan kebutuhan pak Pius sudah disiapkan. Pak Pius juga menjadi anggota koperasi pedagang pasar yang ternyata sangat mendukung pengembangan modal usaha dagang pak Pius.

Anak pertamanya berhasil menyelesaikan studinya dan saat ini bekerja di sebuah supermarket terkenal. Dua anak lainnya masih sekolah. Mereka tetap hidup sederhana, meskipun keadaan ekonomi mereka sudah jauh lebih baik.

Sumber: Lembar Renungan Umat 'Pertemuan Ketiga' APP 2010

21 Maret 2010

Racun Pikiran

Dahulu kala di negeri Cina, adalah seorang gadis bernama Li-Li. Ia baru menikah dan tinggal di wisma mertua. Dalam waktu singkat, Li-Li tahu bahwa ia sangat tidak cocok tinggal serumah dengan ibu mertuanya. Karakter mereka sangat jauh berbeda. Dan Li-Li sangat tidak menyukai kebiasaan ibu mertuanya. Hari berganti hari, begitu pula bulan berganti bulan. Li-Li dan ibu mertuanya tak pernah berhenti berdebat dan bertengkar. Yang makin membuat Li-Li kesal adalah adat kuno Cina yang mengharuskan ia untuk selalu menundukkan kepala untuk menghormati mertuanya dan mentaati semua kemauannya.

Semua kemarahan dan ketidakbahagiaan di dalam rumah itu menyebabkan kesedihan yang mendalam pada hati suami Li-Li, seorang yang berjiwa sederhana. Akhirnya, Li-Li tidak tahan lagi terhadap sifat buruk dan kelakuan ibu mertuanya. Dan ia benar-benar telah bertekad untuk melakukan sesuatu. Li-Li pergi menjumpai seorang teman ayahnya yaitu Sinshe Wang yang mempunyai Toko Obat Cina.
Ia menceritakan situasinya dan minta dibuatkan ramuan racun yang kuat untuk diberikan pada ibu mertuanya. Sinshe Wang berpikir keras sejenak. Lalu ia berkata, "Li-Li, saya mau membantu kamu menyelesaikan masalahmu, tetapi kamu harus mendengarkan saya dan mentaati apa yang saya sarankan.

Sinshe Wang masuk ke dalam, dan tak lama ia kembali dengan menggenggam sebungkus ramuan. Ia berkata kepada Li-Li, "kamu tidak bisa memakai racun keras yang mematikan seketika, untuk menyingkirkan ibu mertuamu, karena hal itu akan membuat semua orang menjadi curiga. Oleh karena itu, saya memberi kamu ramuan beberapa jenis tanaman obat yang secara perlahan-lahan akan menjadi racun di dalam tubuhnya. Ia berkata kepada Li-Li dan Li-Li sangat senang.

Ia berterima kasih kepada Sinshe Wang dan buru-buru pulang ke rumah untuk memulai rencana membunuh ibu mertuanya. Minggu demi minggu, bulan demi bulanpun berlalu. Setiap hari Li-Li melayani mertuanya dengan makanan yang enak-enak, yang sudah "dibumbuinya". Ia mengingat semua petunjuk dari Sinshe Wang tentang hal mencegah kecurigaan. Maka ia mulai belajar untuk mengendalikan amarahnya, mentaati perintah ibu mertuanya, dan memperlakukannya seperti ibunya sendiri.

Setelah enam bulan lewat, suasana di dalam rumah itu berubah secara drastis. Li-Li sudah mampu mengendalikan amarahnya sedemikian rupa sehingga ia menemukan dirinya tidak pernah marah lagi atau kesal. Ia tidak pernah lagi berdebat dengan ibu mertuanya selama enam bulan terakhir karena ia mendapatkan bahwa ibu mertuanya kini tampak lebih ramah kepadanya. Sikap si ibu mertuanya-pun terhadap Li-Li telah berubah, dan mulai mencintai Li-Li seperti puterinya sendiri. Ia terus menceritakan kepada kawan-kawan dan sanak familinya bahwa Li-Li adalah menantu yang paling baik yang ia peroleh. Li-Li dan ibu mertuanya saling memperlakukan satu sama lain seperti layaknya seorang ibu dan anak yang sesungguhnya. Suami Li-Li sangat bahagia menyaksikan semua yang terjadi.

Suatu hari, Li-Li pergi menjumpai Sinshe Wang dan meminta bantuannya sekali lagi. Ia berkata, "Pak Wang, tolong saya untuk mencegah supaya racun yang saya berikan kepada ibu mertua saya tidak sampai membunuhnya. Ia telah berubah menjadi seorang wanita yang begitu baik, sehingga saya sangat mencintainya, seperti kepada ibu saya sendiri. Saya tidak mau ia mati karena racun yang saya berikan kepadanya." Sinshe Wang tersenyum. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Li-Li, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Saya tidak pernah memberi kamu racun. Ramuan yang saya berikan kepadamu itu hanyalah ramuan penguat badan untuk menjaga kesehatan beliau. Satu-satunya racun yang ada, adalah yang terdapat di dalam pikiranmu sendiri, dan di dalam sikapmu terhadapnya, tetapi semuanya itu telah disapu bersih dengan cinta yang kamu berikan kepadanya"

Sumber: Lembar Renungan Umat 'Pertemuan Keempat' APP 2010

11 Maret 2010

Supersemar

Surat Perintah 11 Maret 1966

Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.

Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

Isi Supersemar

Berikut merupakan isi dari Supersemar:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SURAT PERINTAH

I. Mengingat:

1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966

II. Menimbang:

2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja

III. Memutuskan/Memerintahkan:

Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT

Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:
  1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
  2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.
  3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.


Djakarta, 11 Maret 1966

PRESIDEN/ PANGLIMA TERTINGGI/ PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/ MANDATARIS M.P.R.S.

SOEKARNO 


Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.

Keluarnya Supersemar
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.

Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).

Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu menendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.

Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai surat Supersemar itu tiba.

Beberapa Kontroversi tentang Supersemar
  • Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini khan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan dimana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
  • Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
  • Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta ijin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.
  • Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
  • Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.

Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, Arsip Nasional telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha Arsip Nasional itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.

4 Maret 2010

Mengapa berteriak?

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya, "Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"
Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat  tangan dan menjawab,  "Karena saat seperti itu ia telah kehilangan  kesabaran, karena itu ia lalu  berteriak."

"Tapi..." sang guru balik bertanya, "Lawan bicaranya  justru berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan.

Sang guru lalu berkata, "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan, "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?"

Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban.

"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."

Sang guru masih melanjutkan, "Ketika anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang bijaksana. Karena waktu akan membantu anda."

Sumber: milis [FHUKI-1987]

2 Maret 2010

Nikmatilah kopinya bukan cangkirnya

Sekelompok alumni satu universitas yang telah mapan dalam karir masing-masing berkumpul dan mendatangi professor kampus mereka yang telah tua. Percakapan segera terjadi dan mengarah pada komplain tentang stess di pekerjaan dan kehidupan mereka.
Menawari tamu-tamunya kopi, professor pergi ke dapur dan kembali dengan poci besar berisi kopi dan cangkir berbagai jenis - dari porselin, plastik, gelas, kristal, gelas biasa, beberapa diantara gelas mahal dan beberapa lainnya sangat indah - dan mengatakan pada para mantan mahasiswanya untuk menuang sendiri kopinya.

Setelah semua mahasiswanya mendapat secangkir kopi di tangan, professor itu mengatakan : “Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah diambil, yang tertinggal hanyalah gelas biasa dan yang murah saja. Meskipun normal bagi kalian untuk mengingini hanya yang terbaik bagi diri kalian, tapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah dan stress yang kalian alami.”

“Pastikan bahwa cangkir itu sendiri tidak mempengaruhi kualitas kopi. Dalam banyak kasus, itu hanya lebih mahal dan dalam beberapa kasus bahkan menyembunyikan apa yang kita minum. Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah kopi, bukanlah cangkirnya, namun kalian secara sadar mengambil cangkir terbaik dan kemudian mulai memperhatikan cangkir orang lain.”

“Sekarang perhatikan hal ini : Kehidupan bagai kopi, sedangkan pekerjaan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkirnya. Cangkir bagaikan alat untuk memegang dan mengisi kehidupan. Jenis cangkir yang kita miliki tidak mendefinisikan atau juga mengganti kualitas kehidupan yang kita hidupi. Seringkali, karena berkonsentrasi hanya pada cangkir, kita gagal untuk menikmati kopi yang Tuhan sediakan bagi kita.”

Tuhan memasak dan membuat kopi, bukan cangkirnya. Jadi nikmatilah kopinya, jangan cangkirnya.

Sadarilah jika kehidupan anda itu lebih penting dibanding pekerjaan anda. Jika pekerjaan anda membatasi diri anda dan mengendalikan hidup anda, anda menjadi orang yang mudah diserang dan rapuh akibat perubahan keadaan. Pekerjaan akan datang dan pergi, namun itu seharusnya tidak merubah diri anda sebagai manusia. Pastikan anda membuat tabungan kesuksesan dalam kehidupan selain dari pekerjaan anda.

Sumber:  emotivasi.com

1 Maret 2010

Kisah teladan dari negeri China

Di Provinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki yang luar biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada papanya, hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati, membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut anak yang luar biasa.

Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat, maka mereka pun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan negara yang tinggi kepadanya.

Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China. Tepatnya 27 Januari 2006 pemerintah China, di provinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara nasional ke seluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da.
Pada waktu tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras.

Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggung jawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk papanya dan juga dirinya sendiri. Ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah. Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggung jawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.

Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah, di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat.

Zhang Da Merawat Papanya yang Sakit
Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggung jawab untuk merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya. Ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya. Semua ia kerjakan dengan rasa tanggung jawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggung jawabnya sehari-hari.

Zhang Da Menyuntik Sendiri Papanya
Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur 10 tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan injeksi/suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, saya pun berpendapat demikian.


Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.

Aku Mau Mama Kembali
Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, pembawa acara (MC) bertanya kepadanya, “Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu? Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah? Besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!”


Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu.” Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, “Aku mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama kembalilah!” demikian Zhang dan bicara dengan suara yang keras dan penuh harap.
Banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu. Orang tidak akan menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya?

Mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit? Mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat katabelece yang dipegangnya, pasti semua akan membantunya. Sungguh tidak mengerti, tapi yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku mau Mama kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.


Serangan Umum 1 Maret 1949

Panglima Besar Soedirman

Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

Latar belakang
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1949, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.

Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar (Pangsar) Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna mengcounter propaganda Belanda.

Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Pangsar yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarga tinggal di Paviliun rumah Pangsar di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Pangsar menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.

Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar, dalam rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi. Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Pangsar, dan kemudian dibahas bersama-sama.

Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai grand design adalah:
  1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,
  2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
  3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
  4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
  5. Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
  • Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
  • Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.


Tujuan utamanya adalah Bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yang berseragam TNI.

Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta.

Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
  1. Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
  2.  Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
  3. Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.


Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.

Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat. Mengenai Wongsonegoro, Abdul Haris Nasution menulis:
Gubernur Wongsonegoro memberikan contoh yang baik sebagai gubernur gerilya. Ia dengan tabah mengikuti Markas Gubernur Militer yang sering berpindah-pindah di gunung-gunung.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.

Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Pertanyaannya adalah: Bagaimana menyebarluaskan ke dunia internasional? Untuk hal ini, akan diminta bantuan Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.

Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam.

Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.

Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.

Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan:
Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.

Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. 

Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang supir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.

Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.

Dalam catatan harian tertanggal 18 Februari 1949, Simatupang menulis (Lihat catatan harian T.B. simatupang: Laporan dari Banaran, Jakarta 1960, halaman 60):
Kolonel Bambang Soegeng yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran. Soegeng adalah orang yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan apabila Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah: Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan (onhoudbar). Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasaan dari Bambang Soegeng yang dapat saya tangkap dari pembicaraan-pembicaraan dengan dia waktu berada di Banaran.

Saya jelaskan bahwa hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada kita belum lagi ditentukan, sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas Yogyakarta. Sama sekali tidak ada larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi, maka saya anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru dapat memperkuat kedudukan kita. Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya.
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat. Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini. Bunyi instruksi rahasia tertanggal 18 Februari 1949 adalah:

STAF DIVISI III/G.M.III INSTRUKSI RAHASIA Tanggal: 18/II/1949
Berkenaan dengan Instruksi Rahasia yang diberikan kepada Cdt. Daerah III (Letn. Koln. Suharto, untuk mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibukota yang akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan mempergunakan bantuan pasukan dari Brigade IX. Dengan ini diperintahkan kepada: Comandant Daerah I Untuk : * Pada waktu bersamaan dengan tanggal tersebut di atas (25/II/1949 s/d. 1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap salah satu obyek musuh di Daerah I untuk mengikat perhatian musuh dan mencegah balabantuan untuk Yogyakarta. * Selesai. Dikeluarkan di : tempat Tanggal : 18-II-1949.

Jam : 20.00

(tandatangan)

Gub.Mil III/Panglima Div.III

(Kolonel Bambang Sugeng)

Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. 

Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.

Mengenai pemberian tugas kepada Letkol Suharto, dalam otobiografinya dr. Hutagalung menulis:
… Sesampainya di wilayah Brigade X, kepada kami diberitahukan, bahwa pertemuan akan diadakan di salah satu sekolah desa. Oleh karena ada hal yang mencurigakan, pertemuan dipindahkan ke sebuah gubug di tengah sawah. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 5 (lima) orang, yakni Panglima Divisi/Gubernur Militer Kolonel Bambang Soegeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. W. Hutagalung beserta ajudan, Letnan Amron Tanjung dan Komandan Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Panglima Divisi membuka rapat dengan kata-kata : ”Bersama ini rapat dibuka dan dipersilahkan Dr. Hutagalung untuk menguraikan tujuan”. Penulis berdiri serta mengulurkan tangan kepada Komandan Brigade X Letkol. Suharto dan mengatakan : ”Saudara Suharto, saya ucapkan selamat pada saudara Suharto oleh karena ditakdirkan untuk memegang peranan penting dalam perjuangan kita. Nama saudara Suharto akan dicantumkan dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan untuk kemerdekaan Republik Indonesia”. Setelah duduk kembali, penulis meneruskan dan menguraikan tentang sidang di gunung Sumbing yang dihadiri pimpinan pemerintahan sipil dan militer serta pertemuan dengan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, dengan keputusan :
* Perlu melancarkan serangan “spektakuler” untuk meyakinkan dunia pada umumnya, khususnya Amerika Serikat, bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, mempunyai wilayah pemerintahan, organisasi dan kekuatan militer. Agar Amerika Serikat mempertegas dukungan terhadap resolusi PBB, serta menghentikan bantuan keuangan dan persenjataan pada Belanda yang sebenarnya sudah bangkrut. * Memilih kota Yogyakarta sebagai sasaran, dan menugaskan Komandan Brigade X/Wehrkreise lll, Letnan Kolonel Suharto untuk melaksanakan rencana ini.

Kemudian Letkol dr. Wiliater Hutagalung mengajukan pertanyaan: “Siapkah saudara Suharto untuk melaksanakannya ?”

Dijawab : “Siap!”

Setelah itu diuraikan secara rinci pembicaraan dalam rapat di lereng Gunung Sumbing dan di Banaran, terutama mengenai tujuan yang ingin dicapai, yaitu agar supaya pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia yang bisa berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis dapat masuk ke Hotel Merdeka, guna berbicara dengan wartawan-wartawan asing yang berada di Hotel tersebut. Diperoleh informasi, bahwa utusan Dewan Keamanan PBB, United Nations Commission for Indonesia (UNCI) masih berada di Yogyakarta. Harus diusahakan agar mereka dapat melihat Tentara Nasional Indonesia.
Mengenai persiapan dengan pemuda-pemuda tersebut, harus dikoordinasikan dengan Wijono dari PEPOLIT. Serangan harus dilaksanakan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949, agar supaya sesuai dengan instruksi yang telah dikeluarkan oleh Panglima Divisi kepada komandan-komandan pasukan lainnya di sekitar Yogyakarta...
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.

Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jalannya Serangan Umum
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.

Mengenai operasi militer ini, di dalam buku yang diterbitkan oleh SESKOAD tertulis:
Serangan umum yang akan dilaksanakan oleh WK III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melakukan operasi untuk mengimbangi serangan umum WK III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta (Solo) dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.
Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor barat dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula pasukan TNI mengundurkan diri.

Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelang – Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.

Mengenai serangan tersebut, pihak Belanda memberikan keterangan sbb.:
Hari Selasa pagi tanggal 1 Maret lebih kurang pukul 04.00 pos-pos Belanda yang berada di perbatasan Kota Yogya telah ditembaki. Tepat pukul 06.00 di pelbagai tempat di dalam kota terjadi penembakan secara gencar. Dua serangan telah dilakukan oleh gerombolan-gerombolan kuta dari jurusan barat, sedang percobaan serangan ketiga dilakukan dari jurusan selatan, di mana terletak Kraton-dalam. Segera militer Belanda mengambil tindakan untuk mematahkan serangan-serangan itu. Dengan melintas kota sebuah kolone dikerahkan ke tempat yang terancam di selatan kota itu guna menghadapi gerombolan yang menyerang. Kolone terebut ditembaki dengan hebat dari bagian kraton luar. Setelah berhasil mencapai tembok utara kraton-dalam, mereka lalu ditembaki dari arah kraton. Tembakan juga datang dari penembak-penembak yang bersembunyi di pohon-pohon halaman kraton-dalam.

Karena itu komandan kolone minta supaya diizinkan memasuki kraton, permintaan mana segera dikabulkan oleh Sri Sultan sendiri. Sri Sultan menerangkan, bahwa di halaman kraton-dalam tidak ada anggota gerombolan yang menyerang. Penyelidikan lebih lanjut dilakukan.
Kekacauan berakhir lebih kurang pukul 11 pagi. Ditaksir ada kira-kira 2.000 orang anggota gerombolan yang setelah menyusun kekuatannya di sekitar kota, melancarkan serangan ke dalam kota. Para penyerang, yang sebagian bersenjakan kuat, telah dapat dicerai-beraikan di semua tempat dengan menderita kerugian besar dan terpaksa meninggalkan sejumlah besar senjatanya.
Kerugian di kedua belah pihak
Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewa, dan diantaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.

Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.

Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

Perkembangan setelah Serangan Umum 1 Maret
Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-besaran Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines di berbagai media cetak yang terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu di tahun 50-an di Pulo Mas, Jakarta.

Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia, mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk selamanya.

Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret pada era Orde Baru
Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas Yogyakarta 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di Medan (Medan Area, Oktober 1945), Palagan Ambarawa (12 – 15 Desember 1945), Bandung Lautan Api (April 1946), Perang Puputan Margarana Bali (20 November 1946), Pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang (1 – 5 Januari 1947) dan juga tidak melebihi semangat berjuang Divisi Siliwangi, ketika melakukan long march, yaitu berjalan kaki selama sekitar dua bulan – sebagian bersama keluarga mereka - dari Yogyakarta/Jawa Tengah ke Jawa Barat, dalam rangka melancarkan operasi Wingate untuk melakukan perang gerilya di Jawa Barat, setelah Belanda melancarkan Agresi II tanggal 19 Desember 1948. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan arek Suroboyo pada 28 - 29 Oktober dan bulan November/Desember 1945, yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas, Abdul Haris Nasution menulis:
...enam jam di Yogya - yang setelah Orde Baru berdiri selalu diperingati secara besar-besaran. Dan aksi ini adalah dalam rangka tahap taktis-ofensif yang sedang dilancarkan oleh Panglima Bambang Sugeng di seluruh wilayahnya, terhadap kota-kota kabupaten dan keresidenan, terutama di daerah Banyumas, Kedu, Semarang dan Yogya. Pada waktu yang agak bersamaan juga Divisi I memulai aksi yang demikian di Jawa Timur, menyusul Divisi II (Jawa Tengah bagian timur), kemudian Divisi IV (Jawa Barat).
Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang terlampir dalam tulisan ini, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan serangan atas Yogyakarta yang kemudian dilaksanakan pada 1 Maret 1949, dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III - dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat - berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.

Serangan tersebut melibatkan berbagai pihak, bukan saja dari Angkatan Darat, melainkan juga AURI, Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat PDRI di Jawa) dan Pepolit dari Kementerian Pertahanan. Pasukan yang terlibat langsung dalam penyerangan terhadap Yogyakarta adalah dari Brigade IX dan Brigade X, didukung oleh pasukan Wehrkreis I dan II, yang bertugas mengikat Belanda dalam pertempuran di luar Wehrkreis III, guna mencegah atau paling tidak memperlambat gerakan bantuan mereka ke Yogyakarta. Tidak mungkin seorang panglima atau komandan, tidak mengerahkan seluruh kekuatan yang ada di bawah komandonya, untuk menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Perlu diingat, ketika Belanda menduduki Ibukota RI, Yogyakarta, tanpa perlawanan dari TNI, karena dari semula telah diperhitungkan, kekuatan TNI tidak sanggup menahan serangan Belanda. Juga tidak mungkin seorang panglima atau komandan pasukan memerintahkan melakukan serangan terhadap suatu sasaran musuh yang kuat, tanpa memikirkan perlindungan belakang. Selain itu, juga penting masalah logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan perbekalan untuk ribuan pejuang serta perawatan medis yang melibatkan beberapa pihak di luar TNI. Apakah semua ini dapat dipersiapkan, dilakukan atau diperintahkan oleh seorang komandan brigade?

Dalam perencanaan dan pelaksanaan, juga melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Selain itu, juga terlihat peran Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Untuk penyiaran berita mengenai serangan tersebut ke luar negeri, melibatkan pemancar radio AURI di Playen, dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat, yang waktu itu berada di Wiladek.

Cukup kuat alasan untuk meragukan versi yang mengatakan, bahwa seorang komandan brigade dapat memberi tugas kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang berada dua tingkat di atasnya, untuk membuat teks (dalam bahasa Inggris) yang akan disampaikan kepada pihak AURI untuk kemudian disiarkan oleh stasiun pemancar AURI. Dengan demikian, menurut versi ini, perencanaan serta persiapan serangan dilakukan di jajaran brigade, kemudian "memberikan instruksi" kepada sejumlah atasan, termasuk Panglima Divisi.

Perlu diketahui, bahwa selama perang gerilya, berdasarkan Instruksi No. 1/MBKD/1948 tertanggal 22 Desember 1948 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa (MBKD), Kolonel Abdul Haris Nasution, dibentuk Pemerintah Militer di seluruh Jawa. Struktur dan hirarki militer berfungsi dengan baik dan garis komando sangat jelas.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, tidak mungkin seorang komandan pasukan dapat menggerakkan pasukan-pasukan lain yang bukan di bawah komandonya tanpa seizin atasan. Seandainya ada gerakan pasukan lain, pasti harus dengan perintah dari atasan, dan tidak mungkin dilakukan oleh komandan yang satu level. Apalagi menugaskan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang yang dalam hirarki militer berada dua tingkat di atasnya, dan pihak Kementerian Pertahanan serta pihak AURI, yang memiliki/mengoperasikan pemancar radio. Berdasarkan bukti dan dokumen yang ada, serangan tersebut jelas melibatkan berapa pihak di luar Brigade X/Wehrkreis III; bahkan terlihat peran beberapa atasan langsung Letkol Suharto.

Masih terdapat cukup bukti serta dokumen yang menunjukkan, bahwa kendali seluruh operasi di wilayah Divisi III tetap berada di pucuk pimpinan Divisi III, yaitu Kolonel Bambang Sugeng. Hal ini terbukti dengan jelas, a.l. dengan adanya Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreis II Letkol. M. Bachrun, di mana jelas disebutkan, bahwa Instruksi Rahasia tersebut sehubungan dengan perintah yang diberikan kepada Komandan Wehrkreis III, Letkol Suharto. Juga disebutkan, bahwa pasukan yang langsung membantu dalam serangan ke kota adalah Brigade IX.

Dalam naskah otobiografi Letnan Kolonel (Purn.) dr. W. Hutagalung disebutkan, bahwa Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini hadir dalam rapat perencanaan, sehingga tidak diperlukan lagi Instruksi tertulis.

Instruksi Rahasia tersebut merupakan kelanjutan dari Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949 yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, untuk a.l. "... mengadakan perlawanan serentak terhadap Belanda sehebat-hebatnya... yang dapat menarik perhatian dunia luar...".

Dari dokumen ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tujuan semua serangan besar-besaran adalah untuk menarik perhatian dunia internasional, dan sejalan dengan Perintah Siasat 1 yang dikeluarkan oleh Panglima Besar Sudirman pada bulan Juni 1948. Dalam buku yang sama di halaman 265, Nasution menulis: "Panglima Divisi III telah memerintahkan serangan umum terhadap Yogya pada tanggal 1 Maret 1949, yang mempunyai efek yang besar terhadap...."

Dokumen ketiga yang membuktikan, bahwa seluruh operasi tersebut ada di bawah kendali Panglima Divisi III/GM III, adalah Perintah Siasat No. 9/PS/19, tertanggal 15 Maret 1949. Perintah diberikan kepada komandan Wehrkreis I (Letkol. Bachrun) dan II (Letkol. Sarbini), untuk meningkatkan penyerangan terhadap tentara Belanda di daerah masing-masing, dalam upaya untuk mengurangi bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap pasukan Republik di wilayah Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah dilaksanakan serangan atas Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949. Isi Perintah Siasat tersebut adalah:

Staf Gubernur Militer III.
Sangat Rahasia.
PERINTAH SIASAT
Nomor: 9/PS/49
Keadaan:
  • Mulai tanggal 1-III-1949 serangan terhadap Ibukota telah dimulai dan usaha merebut Ibukota akan dilakukan berkali-kali. Kekuatan dari fihak kita melulu dari Brigade X, ditambah dengan pasukan-pasukan kecil dari kesatuan-kesatuan lain-lainnya.
Bantuan yang diberikan kepada Brigade X
  1. Cie (kompi-pen.) dari Bat. Srohardoyo
  2. Bat. Dari Bat. Darjatmo Brigade IX.
  • Berhubung dengan aktiviteit dari fihak kita, maka Belanda menggerakkan balabantuan dari Semarang dan Magelang ditaksir 2000 orang lengkap) dan dibantu dengan Luchtmach-nya (Angkatan Udara-pen.), sehingga druk (tekanan-pen.) ke medan Yogya sangat beratnya. Perintah: Berhubung dengan hal tsb. Maka diperintahkan kepada Cdt. Daerah I dan Cdt. Daerah II Untuk:
  • Vernegen (meningkatkan-pen.) aktiviteitnya di daerahnya,terutama ditujukan kepada centra dari Prembun-Kebumen-Magelang-Semarang wetelijk gedeelte Purwokerto-Probolinggo-Karangkobar.
  • Untuk daerah W.K. Brigade IX, terutama verbindingsweg (jalan penghubung-pen.) Magelang-Semarang dan Magelang - Yogya. (Dalam hal ini Bat. Panuju ditarik ke Magelang utara dan Bat. Bintoro verschuiven ke arah timur).
  • Gerakan-gerakan tsb. dilakukan intensif dalam periode 15-III-1949 hingga 1-IV-1949 dan selanjutnya tetap meluaskan perlawanan.
S e l e s a i.

Dibuat utk. Dibuat di tempat
  1. Cdt. Daerah I. Tanggal : 15-III-1949
  2. Cdt. Daerah II J a m : 12.00
Tindasan utk. Panglima Divisi III/G.M. III
  1. Staf Divisi III.
  2. M.B.K.D.
  3. Cdt. Daerah III. (Kolonel Bambang Sugeng)
  4. Arsip.


Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang Sugeng, yaitu:
  1. Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949,
  2. Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, dan
  3. Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,
membuktikan, bahwa sejak awal bergerilya, seluruh operasi di wilayah Divisi III, tetap diatur dan dikendalikan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III. Dokumen-dokumen tersebut diperkuat antara lain dengan catatan harian Kolonel Simatupang, Wakil KSAP, dan otobiografi Letkol dr. Wiliater Hutagalung, Perwira Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari A.H. Nasution, yang waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD. Selain itu, semua dokumen menunjukkan, bahwa Panglima Divisi III selalu memberikan instruksi dan melibatkan ketiga Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas, bahwa komando operasi ada di tangan Panglima Divisi, dan bukan di tangan Komandan Brigade.

Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian Simatupang tertanggal 18 Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari Banaran, di mana tertera: Kolonel Bambang Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta - Kedu - Banyumas - Pekalongan - sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran.

...Idenya ialah: Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran... Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasan dari Bambang Sugeng yang dapat saya tangkap... Dengan Kolonel Sugeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya.

Bila disimak kalimat Simatupang: "...datang dan bermalam di Banaran. ...Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya"

terlihat, bahwa Bambang Sugeng mengeluarkan instruksi rahasia tersebut tertanggal 18 Februari, setelah berkonsultasi dengan Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Juga apabila mencocokkannya dengan tulisan Budiarjo terbukti, bahwa Simatupang banyak terlibat dalam persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat dilihat, bahwa Simatupang telah mempersiapkan teks dalam bahasa Inggris tanggal 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks tersebut disiarkan oleh pemancar AURI Playen, setelah serangan dilaksanakan tanggal 1 Maret 1949. Juga dari catatan Simatupang dapat dilihat, bahwa di Wiladek mereka juga telah "dipersiapkan" untuk menyiarkan berita mengenai serangan atas Yogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa Simatupang juga memberikan teks yang akan dibacakan seperti halnya di Playen, karena dalam catatan hariannya, Simatupang sendiri tidak menyebutkan nama Budiarjo ketika dia menyampaikan teks yang akan dibacakan di Playen. Di sini terlihat jelas, bahwa "Serangan Spektakuler" tersebut adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi dunia internasional.

Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari Banaran, sekaligus juga menunjukkan keterlibatan besar dari Simatupang, yang dalam hirarki militer beberapa tingkat di atas Suharto. Buku Laporan dari Banaran diterbitkan pertama kali tahun 1960, ketika Suharto belum menjadi Presiden, dan episode perjuangan tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis untuk kepentingan penguasa.

Selain itu, melihat besarnya operasi tersebut serta keterlibatan berbagai pihak, yang dalam hirarki militer berada di posisi lebih tinggi, sangat tidak mungkin, bahwa komando operasi dipegang oleh seorang komandan brigade. Dalam instruksi No. 1/MBKD/1948, tertanggal 25 Desember 1948, butir 5, Kolonel Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menegaskan: "… Peliharalah terus hierarchie ketentaraan…"

Perencanaan serangan tersebut sangat dirahasiakan, sehingga selain pucuk pimpinan tertinggi militer dan sipil, pada waktu itu hampir tidak ada anggota staf di jajaran bawah, yang mengetahui mengenai rencana tersebut, bahkan staf Gubernur Militer sekalipun. Seorang pelaku sejarah menyampaikan, bahwa dia sebagai anggota staf GM III yang berada di lereng gunung Sumbing, baru mengetahui mengenai serangan tersebut setelah serangan dilancarkan. Begitu juga dengan para pelaksana di lapangan, tidak mengetahui mengenai perencanaan serta Grand Design serangan umum, sebagaimana diungkapkan oleh seorang pelaku di lapangan, Kol. (Purn.) A. Latief (waktu itu komandan kompi, berpangkat Kapten). Dalam naskah yang ditulis di penjara Cipinang antara tahun 1991 - 1997, tertera (Abdul Latief. Naskah, belum ada judul, (diperoleh penulis tahun 1998), hlm. 57): "Semua yang saya tulis di sini dengan sendirinya menurut pengalaman yang saya rasakan, saya ketahui dan saya alami pada kejadian waktu itu di sekitar daerah yang ditugaskan kepada saya. Sebab skope pasukan saya kecil, yaitu hanya merupakan sebuah kompi saja yang hanya mempunyai daerah terbatas."

Jadi sangat jelas, bahwa setiap komandan hanya mengetahui sebatas tugas yang diberikan kepadanya dan mempunyai wewenang hanya atas pasukannya. Pernyataan Suharto, seperti disampaikan dalam otobiografinya, selain tidak logis dan tampak hanya mengarang cerita belaka, dapat dibantah berdasarkan bukti yang ada.

Perlu dianalisis kalimat yang tertulis dalam otobiografi Suharto, yaitu: "... Maka muncul keputusan dalam pikiran saya: kita harus melakukan serangan pada siang hari, supaya bisa menunjukkan kepada dunia, kebohongan Belanda itu. Karena sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas, maka sebagai komandan Wehrkreise yang memiliki wewenang untuk melakukan prakarsa ..."

Memang tidak semua prajurit dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar, yang menjadi incaran tentara Belanda. Akan tetapi pucuk pimpinan militer dan sipil, dapat selalu berkomunikasi dengan Jenderal Sudirman, walaupun tempat persembunyiannya selalu berpindah-pindah, bahkan di beberapa tempat, hanya satu atau dua hari saja. Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Kapten Suparjo Rustam, ajudan Panglima Besar Sudirman, tercatat kegiatan Panglima Besar, antara lain: "… Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa Karangnongko (di sungai Brantas, Jawa Timur) dan pindah ke desa di lereng Gunung Wilis. Pak Dirman mengutus Kolonel Bambang Supeno supaya mencari hubungan dengan Pemerintah pusat di Jawa, yang menurut kabar ada di gunung Lawu. Tidak lama setelah Kol. Bambang Supeno berangkat, datang pula Kol. Sungkono (Panglima Divisi/Gubernur Militer Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, Bambang Supeno kembal. Tanggal 11.1.1949 di desa Wayang, pertemuan dengan Menteri Pembangunan Supeno dan Menteri Kehakiman Susanto Tirtoprojo. Selama beberapa hari setelah tanggal 12.1.1949 banyak tamu-tamu dari berbagai kota dan daerah datang menemui Pak Dirman.”

Selama perjalanan, Kapten Suparjo (ajudan Panglima Besar), selalu mengirimkan utusan untuk memberikan berita kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada. Tercatat antara lain: … Tanggal 8.2.1949, di desa Pringapus. Mengirimkan beberapa orang ke Yogyakarta, di antaranya Harsono Cokroaminoto untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai politik, Letnan Basuki dan dr. Suwondo (dokter pribadi Panglima Besar) untuk mencari obat-obatan, Kapten Cokropanolo untuk menghadap Sri Sultan … Orang-orang yang dikirim ke Yogya hampir semuanya ditangkap Belanda, yang tidak ditangkap hanya dr. Suwondo dan Kapten Cokropranolo. Tanggal 3.3.1949 di desa Sobo, datang utusan dari Kolonel Gatot Subroto dengan satu kompi tentara dipimpin Letkol. Su'adi, untuk mengawal Pak Dirman …

Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh ajudan Panglima Besar terlihat, bahwa Panglima Divisi/Gubernur Militer serta pembesar sipil, dapat selalu mengetahui keberadaan Panglima Besar, dan Panglima Besar dapat mengirim utusan untuk bertemu dengan pimpinan militer dan sipil, seperti beberapa menteri yang tidak ditangkap Belanda. Jelas, Suharto yang waktu itu hanya komandan brigade, tidak termasuk lingkungan yang dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar. Selanjutnya, N.S.S. Tarjo menulis: "...Dengan pemancar ini beserta radio-radio rimbu (Radio dengan tenaga listrik buatan. Kekuatan stromnya diperoleh dengan jalan memutar roda sepeda – pen.) , pimpinan Gerilya kita dapat mengikuti situasi Internasional dan dapat menyusun rencana perang Gerilya, sesuai dengan situasi politik, karenanya kita masih mampu berhubungan satu sama lain via darat dan udara, bahkan mampu mengadakan Konferensi Dinas Gubernur Militer, yang kita selenggarakan di daerah Wadas-lintang. Maka datanglah peserta dari seluruh wilayah, mereka menginap, mereka membawa staf, mereka berunding sambil "makan besar", tak ketinggalan potret-potret sebagai dokumentasi. Tak ubahnya seperti konferensi dinas di dalam kota."

Komunikasi dengan pimpinan militer dan sipil di Sumatera, akhir Januari 1949 telah dapat dijalin, seperti ditulis oleh Simatupang: "...Dan memang, akhir bulan Januari hubungan radio telegrafis telah pulih dengan Sumatera, dan melalui Sumatera sejak itu kami dapat pula mengirimkan berita-berita kepada perwakilan kita di New Delhi. Dengan Yogyakarta hubungan segera dapat diatur. Hari kedua setelah kami tiba di Dekso saya dapat mengirim surat-surat kepada Dr. Halim yang berada di kota dan tidak lama kemudian balasannya telah dapat saya terima…"

Ini hanya beberapa catatan sebagai bukti, bahwa pernyataan Suharto sama sekali tidak benar. Memang, hanya sebagai Komandan Brigade, dia tidak termasuk jajaran yang harus atau dapat mengetahui keberadaan Panglima Besar, sedangkan Panglima Divisi/Gubernur Militer atau pimpinan tertinggi sipil, tidak sulit untuk bertemu, bahkan hadir dalam Konferensi Dinas yang diselenggarakan oleh Panglima Besar. Dari sekian banyak dokumen yang ada mengenai korespondensi pimpinan sipil dan militer, terlihat bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai hambatan untuk memberikan perintah, instruksi atau saling berkomunikasi.

Juga terdapat kejanggalan mengenai pernyataan Suharto tersebut, yaitu bahwa dia mengambil keputusan tersebut, karena kesulitan menghubungi Panglima Besar Sudirman. Pertama, hal itu sebenarnya tidak dapat dia lakukan, karena Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade X, masih mempunyai atasan langsung, yaitu Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III, yang markasnya hanya berjarak sekitar dua hari berjalan kaki dari markas Wehrkreis III. Juga ada Kolonel A.H. Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, dan Markas Besar Komando Jawa berada di desa Manisrenggo, di lereng gunung Merapi. Selain itu masih ada Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang bermarkas di pedukuhan Banaran, desa Banjarsari di lereng gunung Sumbing, tidak jauh dari markas Divisi III. Tentu menjadi suatu pertanyaan besar, untuk apa seorang komandan brigade ingin berhubungan langsung dengan Panglima Besar, dengan melewati tiga jajaran di atasnya. Semua markas-markas di wilayah Divisi III berada dalam radius sekitar 24 jam berjalan kaki.

Seorang pelaku serangan umum, Vence Sumual, dalam biografinya yang diterbitkan tahun 1998 menulis, bahwa dia dipanggil oleh Suharto untuk membicarakan rencana serangan tersebut. Sumual menulis (Sumual, Vence, Menatap Hanya Ke Depan, Bina Insani, Jakarta, 1998, hlm. 85): "... Panglima Divisi III, yang kini merupakan juga Gubernur Militer Daerah III, Kol Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia untuk Letkol Suharto, Komandan WK-III, agar mengadakan serangan umum yang lebih kuat lagi. Sedangkan kepada WK-I dan II diinstruksikan untuk memberikan bantuan pasukan ke dalam komando Letkol Suharto..."

Selanjutnya, Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menulis: "... Sore harinya baru tiba. Markas SWK-106 berada di desa Semaken. Mayor Sumual langsung diantar masuk ke ruang dalam. Bob Mandagie tunggu di luar, mengobrol dengan beberapa anggota pasukan di situ.

Di situ hanya mereka bertiga. Vence Sumual, Letkol Suharto dan Komandan SWK-106 Letkol Sudarto yang tuan rumah. Mereka bikin rapat. Pembicaraan masuk ke pokok. Soal serangan umum ke Yogya. Suharto sudah mendapat Instruksi Rahasia dari Panglima Divisi III Kol Bambang Sugeng untuk mengadakan serangan umum besar-besaran yang lebih terencana matang. Serangan-serangan umum sebelumnya tak dirapatkan dengan para komandan SWK seperti ini, setidaknya komandan sektor barat..."

Uraian Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menunjukkan dengan tegas, bahwa perintah serangan umum datang dari Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan bukan gagasan Suharto atau perintah dari Hamengku Buwono IX. Buku yang diterbitkan SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, mengandung sangat banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik yang sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum adalah Suharto.

Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949, dan yang terpenting adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas tertera Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I Letkol. M. Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949 menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan seluruh potensi yang ada di bawah komandonya: Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan terhadap Yogyakarta tersebut adalah bagian dari operasi Gubernur Militer III, yang juga melibatkan pasukan di bawah komando Gubernur Militer II. Koordinasi pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin dilakukan oleh seorang komandan Brigade: Serangan yang akan dilaksanakan oleh Wehrkreis III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng.

Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan operasi untuk mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang. Kalimat: "...dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang"

juga membuktikan kebenaran keterangan Letnan Kolonel dr. Hutagalung, yang menyebutkan, bahwa Wehrkreis II juga terlibat dalam aksi besar-besaran tersebut; perintah tertulis kepada Komandan Wehrkreis II tidak perlu diberikan, karena Letnan Kolonel Sarbini hadir dalam rapat perencanaan di lereng Gunung Sumbing.

Buku yang diterbitkan oleh SESKOAD untuk glorifikasi Suharto, sekaligus mengecilkan peran banyak atasan Suharto, dan bahkan hanya dengan beberapa baris kalimat, sangat menjatuhkan nama baik Presiden Sukarno serta pimpinan sipil lain, yang -setelah pertimbangan yang matang- memutuskan untuk tidak ke luar kota. Dalam buku SESKOAD tertulis: "... 

Tiba-tiba datang seorang kurir dari Istana membawa berita bahwa apapun yang terjadi, para pejabat pemerintah tetap di kota. Mereka semua mendongkol, segera direncanakan penculikan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Sebuah pasukan telah disiapkan. Namun, kemudian Kolonel T.B. Simatupang melarangnya. Rencana itu dibatalkan."

Sebagaimana telah dituliskan di muka, bahwa keputusan untuk tetap tinggal di kota, diambil setelah dilakukan Sidang Kabinet yang berlangsung dari pagi sampai siang. Selain itu, Panglima Besar Sudirman dan Kolonel Simatupang sendiri juga berada di Istana. Para penulis buku SESKOAD sama sekali tidak menyebutkan adanya Sidang Kabinet, percakapan antara Presiden Sukarno dengan Panglima Besar dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan, yang ditujukan kepada seluruh Angkatan Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel Simatupang, seusai Sidang Kabinet di Istana. Buku SESKOAD juga tidak menjelaskan, siapa kelompok yang "mendongkol" dan akan menculik Presiden serta Wakil Presiden untuk dibawa ke luar kota. Mengenai kegiatannya sepanjang tanggal 19 Desember 1948, Simatupang menulis sangat rinci dalam buku Laporan dari Banaran, dan tidak menyebutkan bertemu dengan "kelompok yang mendongkol" tersebut.

Seandainya memang benar ada rencana "penculikan" Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu telah ditulis dalam catatan hariannya. Dalam buku SESKOAD setebal sekitar 400 halaman hanya dengan beberapa baris saja Sukarno didiskreditkan, dan digambarkan sebagai seorang pengecut yang tidak berani memimpin perang gerilya.

Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret pada era reformasi
Versi lain yang kemudian juga dikenal adalah, bahwa perintah serangan tersebut datang dari Hamengku Buwono IX (HB IX). Menurut versi ini, Hamengku Buwono IX memanggil Letkol Suharto dan berbicara empat mata, di mana HB IX memberi perintah kepada Suharto untuk melaksanakan serangan atas kota Yogyakarta, dan HB IX telah menetapkan waktu penyerangan, yaitu tanggal 1 Maret 1949. Sebagaimana dikemukakan di atas, hirarki dan garis komando militer berfungsi dengan baik selama perang gerilya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang yang berada di luar garis komando dapat memberikan perintah kepada komandan pasukan untuk mengadakan suatu operasi militer, di mana juga akan melibatkan pihak dan pasukan lain. Untuk melibatkan pasukan dengan komandan yang sejajar dengan dia saja sudah tidak mungkin, karena harus ada persetujuan dari atasan; apalagi memberikan instruksi kepada atasan dan pihak di luar Angkatan Darat. Dengan demikian apabila disebutkan, bahwa perintah serangan diberikan oleh seseorang yang berada di luar garis komando militer, adalah sangat tidak masuk akal. Apalagi memberi instruksi langsung kepada komandan pasukan yang satu level, tanpa melibatkan atasan.

Pemberian perintah memang dimungkinkan, seandainya gerakan pasukan tersebut sangat terbatas pada pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang komandan, tanpa melibatkan pasukan lain, serta tidak memerlukan persiapan yang besar, di mana masalah logistik dapat ditangani sendiri. Di beberapa bagian, buku SESKOAD berusaha untuk tidak mengabaikan peran HB IX, di mana disebutkan, bahwa selain Suharto, HB IX sangat rajin mendengarkan siaran radio luar negeri. Juga berdua mempunyai gagasan untuk segera mengadakan serangan umum, sejalan dengan Surat Perintah Siasat No. 4 dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Hanya yang mengherankan adalah disebutkannya Perintah Siasat No. 4 tertanggal 1 Januari 1949, dan bukan Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang secara eksplisit menyebutkan Instruksi dari Panglima Divisi Bambang Sugeng kepada Komandan Daerah (Wehrkreis) III, Letnan Kolonel Suharto, untuk melakukan serangan atas Ibukota Yogyakarta antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949.

Juga dikutip dari biografi HB IX, keterangan yang sehubungan dengan serangan umum, tetapi tidak dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX memanggil Suharto untuk menghadap: ... Apalagi ketika ia mendengar berita dari siaran radio luar negeri, bahwa pada akhir Februari 1949 masalah antara Indonesia dengan Belanda akan dibicarakan di forum PBB. Bagaimana caranya untuk memberi tahu kepada dunia internasional bahwa RI masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan. 

Ia kemudian mendapat satu akal ... ... Namun ia harus cepat bertindak karena waktu telah mendesak. Ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar di tempat markas gerilya meminta persetujan untuk melaksanakan siasat.

Di sini berakhir kutipan dari biografi HB IX, sedangkan dalam buku yang ditulis oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI), Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, kutipan tersebut selanjutnya berbunyi: ... HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Suharto. Dalam pertemuan di rumah kakaknya, GPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Suharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu. Itulah satu-satunya pertemuan HB IX - Suharto dalam hubungan dengan rencana Serangan Umum 1 Maret. Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir.

Keterangan tersebut sebenarnya sekaligus membantah ungkapan Suharto, yang dalam otobiografinya menyebutkan bahwa: ... sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas ...

Setelah Suharto tidak berkuasa, barulah ada keberanian beberapa orang untuk membantah versi Suharto tersebut, termasuk orang-orang yang di masa Suharto berkuasa, terlibat dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah, bahkan hadir dalam Seminar SESKOAD dan ikut dalam pembuatan Film "Janur Kuning". Di era yang diharapkan dimulainya reformasi termasuk pelurusan penulisan sejarah, muncul pengkultusan baru yang masih memakai pola yang telah diterapkan oleh Suharto dan merekayasa legenda baru. Beberapa sumber berita dikutip, tetapi semua kesimpulan diarahkan kepada kerangka baru yang telah disiapkan, yaitu adanya pemrakarsa dan pelaksana; dan segala sesuatu seputar serangan tersebut tidak berubah. 

Tidak pernah ada penjelasan, mengenai apa yang dimaksud dengan pemrakarsa. Hal ini dilakukan oleh pendukung HB IX.

Sebenarnya, bila mengenal sosok HB IX yang dikenal sangat low profile dan dekat dengan rakyat, sangat diragukan bahwa HB IX akan menyetujui semua langkah yang ditempuh untuk menciptakan suatu legenda baru untuk mengkultuskan dirinya. Versi ini juga mengekspos, seolah-olah serangan terhadap Yogyakarta tersebut menjadi tindakan, yang memaksa Belanda kembali ke meja perundingan di PBB di Lake Success (Tempat bersidang Dewan Keamanan pada waktu itu adalah Lake Success, Amerika Serikat, dan Paris, Perancis).

Brigjen. (Purn.) Marsudi seperti dikutip berbagai media, a.l. situs web koridor.com tertanggal 23 Juni 2000, menyebutkan, bahwa Hamengku Buwono IX yang memberikan perintah kepada Suharto. Koridor.com menuliskan:"Salah satu pelaku Serangan Oemoem (SO) 1 Maret Brigjen (Purn) C Marsoedi menegaskan, ide serangan terhadap kekuatan militer Belanda, yang menduduki ibukota RI Yogyakarta; pada Siang hari datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Dalam seminar tentang Peranan Wehrkreise III Pada Masa Perang Kemerdekaan II 1948-1949 di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) Yogyakarta, Kamis, Marsoedi mengemukakan, tidaklah benar bila ide itu berasal dari Soeharto, yang saat itu menjadi Komandan Wehrkreise III berpangkat Overstee (Letkol) dan kemudian menjadi orang pertama Orde Baru.

Menurut dia, juga tidak benar Soeharto pada masa itu tidak pernah menghadap Sri Sultan HB IX. "Saya sendiri yang menjadi penghubung antara HB IX dengan Soeharto," katanya. Ia menjelaskan, pada 14 Februari 1949, Soeharto diantar masuk ke Kraton Yogyakarta melalui nDalem Prabeya, dan kemudian bertemu empat mata dengan Sri Sultan HB IX di kediaman GBPH H Prabuningrat, saudara Sri Sultan yang juga menjadi tangan kanan HB IX. 

Pertemuan itu berlangsung dalam suasana gelap karena seluruh lampu dimatikan. Saat menghadap Sri Sultan, Soeharto mengenakan busana pranakan, jenis baju tradisional khusus bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. 

Bahkan saat keluar dari pertemuan itu, Soeharto sempat memerintahkannya dengan kalimat pendek. "Tunggu perintah lebih lanjut," kata Marsoedi menirukan ucapan Soeharto waktu itu. Ia mengungkapkan, sebelum bertemu Soeharto, Sri Sultan pada 1 Februari berkirim surat kepada Panglima Besar Soedirman dan kemudian dijawab oleh Bapak TNI ini agar menghubungi Letkol Soeharto di Blibis."

Sebelum itu, dalam wawancara dengan Tabloid Tokoh, Marsudi mengatakan (Lihat Tabloid mingguan Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9 - 16 November 1998): "Gubernur Militer Bambang Sugeng itu 'kan Panglima Divisi, di atasnya Pak Harto, di bawah Panglima Besar. Peranan Panglima Divisi tak terasa, tetapi sebagai panglima, beliau tentu menerima informasi dari Panglima Besar. Situasinya mendesak. Sarana komunikasi terbatas. Karena itu ada hirarki yang diterjang".

Sangat tidak tepat, apabila Marsudi menyebutkan "Peranan Panglima Divisi tak terasa." Marsudi, yang waktu itu berpangkat Letnan dan hanya menjabat sebagai komandan Sub-Wehrkreis 101, tentu tidak pada posisi untuk menerima instruksi/perintah langsung dari Panglima Divisi, karena Panglima Divisi cukup memberikan instruksi/perintah kepada komandan Brigade/Wehrkreis, sesuai dengan hirarki militer. Marsudi yang setelah usai Perang Kemerdekaan II terus akrab dengan para perwira yang dahulu di Staf Gubernur Militer (SGM), Staf Divisi serta pimpinan brigade, seharusnya cukup mendengar dan mengetahui peranan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.

Panglima Divisi Kolonel Bambang Sugeng, selain yang langsung memimpin rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III pada 18 Februari 1949 -di mana disusun "Grand Design" Serangan Umum tersebut- juga memimpin sendiri rombongan dengan melakukan perjalanan kaki berhari-hari dari lereng Gunung Sumbing, menuju Brosot untuk menyampaikan "Grand Design" itu kepada pihak-pihak yang terkait, seperti Kolonel Simatupang, Kolonel Wiyono dari PEPOLIT dan termasuk kepada Letkol Suharto.

Dari dokumen-dokumen yang telah disebutkan di atas, juga sebagaimana tertera dalam catatan harian Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Simatupang tertanggal 18 Februari 1949, sebenarnya sudah sangat jelas peran Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng. Kemudian sehubungan dengan alasan "sarana komunikasi terbatas" maka "ada hirarki yang diterjang,", sebagaimana terlihat dalam beberapa catatan di atas, demikian juga dengan pernyataan Suharto, alasan tersebut telah terbantah. 

Memang hal itu yang selalu dikemukakan oleh bawahan, oleh karena mereka tidak mengetahui, bahwa atasan tertinggi mereka tidak mempunyai kesulitan untuk saling berkomunikasi, sehingga dengan demikian, tidak ada alasan untuk menerjang hirarki. Selain itu, pernyataan Marsudi telah terbantah oleh keterangan HB IX sendiri, yang menyebutkan bahwa HB IX dapat berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman. Sebagai komandan Sub-Wehrkreis dengan pangkat Letnan, Marsudi tidak termasuk jajaran yang dapat atau boleh mengetahui persembunyian Panglima Besar Sudirman, yang menjadi sasaran utama tentara Belanda. Bahkan atasannya sendiri, yaitu Letkol Suharto, juga tidak termasuk jajaran yang dapat mengetahui tempat persembunyian Panglima Besar.

Begitu juga dengan kesimpulan yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi, bahwa pemrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tim ini mengutip a.l. biografi Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, di mana dikutip: "Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk menghubungi Panglima Besar (Sudirman) di persembunyiannya, meminta persetujuannya untuk melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan gerilya... HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Soeharto. Dalam pertemuan di rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Soeharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu....Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir. ...Melalui kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa "pendudukan Yogya" oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup."

Mereka yang pernah ikut gerilya pasti melihat, bahwa hal-hal yang diungkapkan di atas, tidak mungkin dilakukan, yaitu orang yang tidak berada di garis komando memberikan perintah langsung kepada seorang komandan pasukan untuk melaksanakan suatu serangan besar, tanpa sepengetahuan atasan komandan pasukan tersebut, apalagi operasi militer tersebut melibatkan berbagai pasukan yang tidak di bawah komando yang bersangkutan. Bahkan juga angkatan lain, selain Angkatan Darat, dalam hal ini AURI di Playen yang memiliki pemancar radio. Dari otobiografi almarhum Marsekal Madya TNI (Purn.) Budiarjo, mantan Menteri Penerangan, dan buku Simatupang yang terbit pertama kali tahun 1960, jelas menunjukkan ikutsertanya Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang dalam perencanaan dan persiapan. Selain itu masih ada dokumen tertanggal 18 Februari 1949, yang sangat jelas menuliskan perintah kepada komandan Daerah I (Wehrkreis I) untuk mengadakan serangan atas "Iboekota Yogyakarta" antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949. Pemberi perintah adalah Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng. 

Tampaknya menurut versi pendukungnya, wewenang HB IX sangat besar, yaitu selain menetapkan tanggal penyerangan, hanya melalui kurir pada sore hari tanggal 1 Maret 1949, ia memberi instruksi kepada Suharto agar serangan tersebut dihentikan, seperti dituliskan: ... Melalui kurir pula ia memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa "pendudukan Yogya" oleh pasukan gerilya dianggapnya sudah cukup.

Dari semua keterangan dan bukti yang ada, pertempuran di dalam kota Yogyakarta hanya berlangsung paling lambat hingga sekitar pukul 11.00, karena pada saat itu bantuan tentara Belanda dari Magelang telah tiba di Yogyakarta. Film yang dibuat tahun limapuluhan mengenai serangan tersebut berjudul "6 jam di Yogya", masih mendapat masukan dari beberapa perwira di jajaran atas, sehingga jalan ceriteranya cukup otentik. Serangan dimulai tepat pukul 06.00, dan apabila pertempuran berlangsung sekitar enam jam, berarti memang paling lambat berakhir sekitar pukul 12.00. Dengan demikian, sangat tidak mungkin perintah penghentian pertempuran diberikan sore hari. Walaupun dengan menyatakan bahwa instruksi tersebut berdasarkan perintah HB IX, yang notabene tidak ada di garis komando Divisi III, sangat diragukan, bahwa Letnan Kolonel Suharto, yang hanya Komandan Brigade dapat memberikan instruksi, perintah atau apapun namanya kepada para atasannya.

Juga adalah suatu hal yang tidak mungkin, bahwa HB IX telah menetapkan tanggal penyerangan, tanpa membahas terlebih dahulu dengan pimpinan militer dan sipil lain, berapa kekuatan pasukan yang dapat dikerahkan oleh Suharto dan bagaimana perlindungan belakang atas kemungkinan bantuan tentara Belanda dari kota lain seperti Magelang, Semarang dan Solo, serta dukungan logistik dan paramedis yang diperlukan untuk suatu operasi militer besar-besaran.

Di sini terlihat, bahwa mereka yang menyusun “skenario” untuk peran HB IX tidak mengetahui mengenai perencanaan suatu operasi militer yang besar, yang melibatkan beberapa pasukan. Walau pun berbagai sumber yang dikutip sebenarnya bertolak belakang, namun kemudian TLAI membuat kesimpulan, bahwa Hamengku Buwono IX bukan hanya pemrakarsa, melainkan juga yang menetapkan tanggal pelaksanaan dan memegang kendali operasi, yaitu dengan memberi perintah untuk menghentikan pertempuran, karena dianggapnya "sudah cukup". Dikemukakan juga kesaksian seseorang, yang disebutkan sebagai seorang putra dari anak buah Budiarjo, perwira AURI yang ditemui Simatupang. Selanjutnya TLAI menuliskan:...kata Letkol Suharto, yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai Komandan Pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.

TLAI tidak menyebutkan buku sejarah mana, atau di mana pernah tertera, bahwa HB IX adalah pemrakarsa, dan Suharto adalah komandan pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal tersebut memberikan kesan, bahwa kelompok yang mempunyai kekuasaan dan dana, dapat membayar "pakar sejarah" untuk menulis sesuai seleranya, dan membiayai penerbitan buku tersebut, seperti yang selama ini dilakukan pada zaman Orde Baru. Dengan demikian sejarawan seperti ini, tidak berbeda dengan "tukang jahit.

“Skenario” yang terbaru terkesan sangat berlebihan, dan mungkin dapat dikatakan telah melampaui batas kewajaran, sebagaimana dilukiskan dalam buku yang ditulis oleh tiga orang pakar sejarah. Berikut ini kutipan lengkap dari buku tersebut (tanpa terputus dan tidak dirubah titik-komanya): "... 

kemudian Presiden dan Wapres di Gedung Agung ditangkap dan diasingkan sehingga mutlaklah kala itu kedudukan "pemerintah" kita diserahkan pada Syafruddin Prawiranegara dilain fihak kedudukan kiranya tinggal Mentri Koordinator Keamanan yang dijabat oleh Sri Sultan HB IX, merupakan pimpinan RI yang tetap di Yogyakarta, dimana kraton berada maka praktis perjuangan kita hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia Internasional/PBB, dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah RI di Yogya tersebut Sri Sultan HB IX dengan telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis.

Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Menteri Koordinator Keamanan maka mulailah beliau menyusun rancangan sengan menggunakan beberapa faktor pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda yang mengatakan Pemerintah RI telah "hilang" semenjak Sukarno-Hatta diasingkan Posisi TNI sudah sangat "lemah" dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan Pemerintah, kekacauan terjadi dimana-mana, "kemiskinan" ekonomi-sosial yang cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya pendukung ini yang nota bene semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada waktu itu sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus "Jalan Keluar" dari "kemiskinan", jadi beliau mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada level indikasinya ..."

Menurut tulisan ini, Laskar Mataram yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945, menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Agak mengherankan, karena dalam banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut.

Memang ketika Belanda melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, Re-Ra (Reorganisasi - Rasionalisasi) di tubuh TNI belum tuntas, sehingga masih banyak laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke TNI.

Buku yang baru diluncurkan tanggal 1 Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah. Serangan Oemoem 1 Maret 1949, disebut oleh Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, Msc, dalam kata sambutannya, sebagai:"...kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi dasar utama dalam penulisan buku ini...".

Secara garis besar, buku tersebut tidak berbeda jauh dengan buku dari TLAI, hanya ditambahkan transkrip rekaman wawancara HB IX dengan BBC pada tahun 1986, serta sejumlah kesaksian, terutama dari pegawai keraton Yogyakarta. Tidak ada dokumen dari tahun 1948/1949 yang memperkuat semua kesaksian. Pembenaran versi ini juga berdasarkan kutipan wawancara dari berbagai media massa, tanpa ada dokumen pembuktiannya. Sebenarnya, ketiga penulis yang adalah Sarjana Hukum, tentu mengetahui, bahwa dari segi hukum, pengakuan seseorang-ataupun tidak mengakui suatu tindakan- bukanlah suatu alat bukti yang kuat. Yang berhubungan langsung dengan latar belakang serangan tersebut, sebagian besar hanyalah polemik mengenai versi pertama, yaitu pemrakarsa adalah Letnan Kolonel Suharto, dan sepintas lalu disinggung mengenai versi ketiga, yang dikemukakan oleh Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, mantan Kwartiermeestergeneraal Staf "Q" TNI AD, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perwira Teritorial.

Di halaman 71, sehubungan dengan kedatangan Kolonel Simatupang di desa Playen, tempat pemancar radio AURI, tertulis kesaksian Herman Budi Santoso, SH, yang menceriterakan pengalamannya waktu itu (usia 15 tahun):"...yang ternyata T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud (Budiarjo-pen.)...dan Pak Simatupang mengatakan bahwa Sri Sultan telah mengontak Pak Dirman tentang ide penyiaran yang diprakarsai Sri Sultan termasuk gagasan untuk SU 1 Maret 1949, pak Bud saat itu Kapten juga melaporkan bahwa pak Sabar juga telah menerima kode dan isi perintah rahasia dari kurir Pangsar Sudirman..."

memang, adalah suatu novum, yaitu"...T.B. Simatupang, yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud.." Namun, para pakar sejarah tersebut tidak melampirkan bukti atau dokumen yang dapat mendukung kebenaran "kesaksian" tersebut, karena hingga kini tidak ada tercatat di dokumen mana pun mengenai instruksi/perintah Hamengku Buwono IX kepada Kolonel Simatupang. Demikian juga catatan Simatupang, yang tidak pernah menyebutkan adanya pertemuan dengan HB IX atau perintah dari HB IX dan bahkan tidak selama berlangsungnya perang gerilya, Simatupang tidak pernah menulis adanya peran HB IX dalam perlawanan bersenjata. Selain itu, Simatupang juga tidak menulis nama perwira AURI yang ditemuinya di Playen. Seandainya ada perintah tersebut, tentu Simatupang mencatat dalam buku hariannya, dan yang dicatatnya adalah pertemuan dengan Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III/GM III yang menyampaikan rencana untuk menyerang Yogyakarta, dan dalam catatan harian mengenai kedatangannya di Wiladek, Simatupang menulis:..Tanggal 1 Maret 1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang telah dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen.

Di Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo, yang bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa. Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan "SO" atau serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan "SO" ini melalui pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan New Delhi, yang kemudian akan berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita…

Dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang banyak melampirkan fotocopy surat-menyurat yang penting, termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman. Demikian juga dengan Nasution, yang selain melampirkan copy dari dokumen asli, juga menulis transkrip sejumlah besar dokumen-dokumen selama perang gerilya. Namun tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau menyatakan keterlibatan HB IX dalam suatu operasi militer.

Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang adalah atas perintah dari HB IX untuk menemuinya. Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya keterkaitan antara Hamengku Buwono IX baik dengan Simatupang, maupun dengan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng. Juga secara keseluruhan, belum ditemukan sumber otentik atau dokumen mengenai keterlibatan HB IX dalam salah satu operasi militer. Demikian juga Nasution, dalam semua bukunya tidak pernah menyinggung adanya keterlibatan HB IX dengan serangan umum di wilayah Divisi III, ataupun terhadap Yogyakarta. Satu-satunya buku (naskah) yang secara eksplisit menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman yang diterima di dekat Pacitan pada awal bulan Februari 1949, adalah naskah buku dr. W. Hutagalung, yang hingga kini belum diterbitkan. Jadi agak mengherankan, bahwa Herman Budi Santoso, tanpa ada suatu sumber pembuktian, dapat menuliskan: "... T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui Budiarjo..."

Pada dasarnya, selain memuat transkrip wawancara HB IX dengan BBC, serta melampirkan sejumlah kesaksian, tidak ada bukti atau dokumen baru, selain dari dokumen yang selama ini telah dikenal. Bahkan beberapa kesaksian menyebutkan, bahwa selain mendengarkan radio kemudian meminta izin kepada Panglima Besar Sudirman untuk melancarkan serangan terhadap Yogyakarta, HB IX juga yang menetapkan tanggal serangan, memberikan perintah untuk penghentian serangan, memerintahkan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, untuk menyampaikan teks siaran ke pemancar radio AURI di Playen; singkatnya, juga dalam buku ini semua peran yang dahulu diklaim oleh Suharto, kini dilimpahkan kepada HB IX, dengan demikian mengangkat HB IX menjadi super hero yang baru. Walau pun pada beberapa dokumen jelas disebutkan bahwa serangan tersebut adalah operasi militer di bawah komando Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan tidak ada satu pun dokumen otentik yang mendukung, para penulis dengan tegas telah menetapkan HB IX sebagai pemrakarsa serangan, dan Marsudi menyatakan, bahwa penulisan tersebut telah "final".

Adalah suatu hal yang baru, yaitu upaya untuk mengukuhkan "kajian ilmiah" tersebut dengan Keputusan Presiden Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam harian Kompas tertanggal 28 Februari 2001, halaman 9, ditulis:Bahkan DPRD (DI Yogyakarta-pen.) sendiri telah menulis surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk menerbitkan keputusan presiden, untuk meluruskan fakta sejarah itu. "...de facto penggagas SO 1 Maret itu adalah HB IX almarhum, tetapi secara de jure harus dirumuskan dalam keputusan presiden, karena menyangkut sejarah bangsa ini." demikian Budi Hartono.

Hal baru ini boleh dikatakan mungkin "unik", yaitu suatu penulisan sejarah minta dikukuhkan melalui SK Presiden. Bahkan Suharto pun tidak pernah mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Presiden, atau memerintahkan lembaga-lembaga negara untuk mengukuhkan versinya.

Untuk meletakkan sesuai proporsinya, perlu sekali lagi ditegaskan, bahwa "Serangan Spektakuler" -bahkan seluruh serangan umum di wilayah Divisi III- tersebut bukanlah pemicu perundingan antara Belanda dan Republik Indonesia. Agresi Belanda yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, dilakukan saat perundingan antara Indonesia dan Belanda sedang berlangsung. Perundingan tersebut difasilitasi oleh Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB, yang waktu itu lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Namun, keberhasilan "Serangan Umum" (serangan secara besar-besaran yang serentak dilancarkan) di seluruh wilayah Divisi II dan III, termasuk "serangan spektakuler" terhadap Yogyakarta dan hampir bersamaan dilakukan di wilayah Divisi I dan IV, menambah jumlah keberhasilan serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di seluruh Indonesia, sebagai bukti bahwa TNI masih ada. 

Keberhasilan "Serangan Umum" tersebut adalah berkat kerjasama serta dukungan berbagai pihak. Sangat banyak orang dan pihak yang terlibat langsung dalam perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, sehingga bukan hanya satu atau dua orang saja yang berjasa, melainkan banyak sekali. Juga tidak hanya Angkatan Darat saja yang terlibat, melainkan juga Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan sendiri serta pimpinan sipil, untuk memasok perbekalan bagi ribuan pejuang. Dan yang terpenting, adanya dukungan rakyat Indonesia di daerah-daerah pertempuran.

Selain itu harus pula diingat, bahwa perlawanan bersenjata dilakukan tidak hanya di sekitar Yogyakarta atau Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh Indonesia, yaitu di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan ini adalah bagian dari seluruh potensi perjuangan kemerdekaan: Diplomasi dan Militer. Perlawanan bersenjata tidak hanya dilakukan oleh tentara reguler/ TNI saja, melainkan juga banyak kalangan sipil yang ikut dalam pertempuran, sebagaimana dituturkan dalam buku Setiadi Kartohadikusumo: "Pemuda-pemuda yang membantu PMI (Palang Merah Indonesia), kalau malam juga ikut menjalankan pertempuran sebagai gerilyawan. Ada beberapa orang yang tertembak mati dengan masih memakai tanda Palang Merah di bahunya, sebagaimana terjadi di Balokan, di muka stasion KA Tugu dan di Imogiri."

Melihat begitu banyak pihak yang berperan dalam pembahasan, perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, tentu tidak pada tempatnya, apabila untuk keseluruhan episode tersebut direduksi menjadi peran dua orang, yaitu hanya ada pemrakarsa dan pelaksana; selebihnya, dianggap tidak penting. Di samping itu, masih sangat diragukan kebenaran versi yang mendukung kedua story tersebut.

Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa penulisan sejarah adalah suatu "never ending process", suatu proses yang tidak akan berakhir, karena sering dapat ditemukan bukti baru, sehingga dengan demikian penulisan sebelumnya perlu direvisi atau mendapat penilaian baru.

Oleh karena itu, selama tidak ditemukan dokumen atau bukti otentik yang dapat membuktikan perintah atau pun penugasan dari HB IX, baik kepada Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, yang adalah atasan langsung dari Letkol Suharto, maupun kepada Kolonel A.H. Nasution -Panglima Tentara & Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa- atau kepada Kolonel T.B. Simatupang -Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang-, berdasarkan dokumen, bukti-bukti yang ada, serta sesuai hirarki dalam pemerintahan militer dan garis komando, dapat dengan tegas dinyatakan, bahwa perencanaan, persiapan, penugasan, pelaksanaan serta komando operasi militer yang dilancarkan di seluruh wilayah Divisi III/GM III -termasuk serangan terhadap Yogyakarta- tanggal 1 Maret 1949, berada di pucuk pimpinan Divisi III/GM III dan kendali operasi sejak awal berada di tangan Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng.

Perkembangan kontroversi Serangan Umum 1 Maret
Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu yang diduduki Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari duapuluh tahun, apabila beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.

Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas, terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang berbeda dengan dua versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak.

Dalam skripsi yang ditulis oleh Indriastuti sebagai bahan untuk ujian S-1, diterbitkan pada tahun 1988, telah memuat salinan Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kol. Bambang Sugeng, di mana seharusnya terlihat jelas, bahwa serangan tersebut adalah perintah dari pimpinan tertinggi Divisi. Juga telah diwawancarai beberapa pelaku sejarah. Namun terlihat, alur cerita yang disampaikan serta kesimpulan yang diambil, sangat tidak logis.

Bahkan buku yang diterbikan SESKOAD tahun 1989, melampirkan banyak dokumen, yang sebenarnya menunjukkan peran beberapa atasan Suharto, namun tampaknya buku tersebut "dijahit" khusus untuk Suharto. Seharusnya, sekarang sudah menjadi kewajiban moral bagi SESKOAD, untuk merevisi buku tersebut dan merehabilitasi beberapa mantan atasan Suharto, karena jasa mereka bagi bangsa, negara dan TNI sangat besar; bahkan beberapa dari mereka termasuk yang berperan bukan saja dalam pembentukan BKR/TKR -cikal bakal TNI- melainkan juga dalam perencanaan serta pelaksanaan reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Peran mereka dalam Perang Kemerdekaan II telah dikecilkan, demi mengangkat peran Suharto, yang dahulu hanya komandan Brigade dan kebanyakan hanya melaksanakan perintah atasan.

Selain itu cuplikan dari manuskrip buku Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, yang sehubungan dengan serangan atas Yogyakarta tersebut, telah dimuat di majalah bulanan Bonani Pinasa, Medan, edisi November dan Desember tahun 1992 (ketika Suharto masih Presiden); Tabloid Tokoh, 6 - 16 November 1998; Mingguan Tajuk, 4 Maret 1999 dan Suara Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis oleh Sabam Siagian).

Setelah membaca manuskrip tersebut, pada tahun 1995, Suharto menyampaikan, agar buku tersebut tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun 1997, dimana suasana reformasi sudah mulai dirasakan, manuskrip tersebut disampaikan kepada Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta pendapatnya untuk memberi sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut diterbitkan, dan menulis kata sambutan.

Usai perang gerilya, dua orang perwira yang bergerilya di wilayah Gunung Sumbing, mendapat promosi kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf "G" (General = Umum) dan ketika Simatupang ditugaskan untuk ikut menjadi anggota delegasi Republik dalam KMB di Den Haag, Bambang Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Perwira kedua yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf "Q" TNI AD (Kepala Staf "Q" – Head Quarter). 

Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang mencatat:"dr Hutagalung, aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948 ditunjuk sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara Republik dari wilayah yang diduduki Belanda."

Salah satu keputusan Konperensi Meja Bundar adalah penyerahan seluruh perlengkapan militer Belanda yang ada di Indonesia, kepada TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pada perundingan dengan pihak Belanda untuk serah terima perlengkapan militer tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh Kwartiermeester-generaal Staf "Q" Letnan Kolonel Dr. W. Hutagalung. Wakilnya adalah Kolonel G.P.H. Djatikusumo [Diceriterakan oleh alm. Kol TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang dalam pertemuan pada 9 November 1999 di Gedung Joang ’45, Menteng Raya 31]. Dalam pelaksanaan serah terima, Hutagalung dibantu oleh Kapten Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar, yang menangani penerimaan dan registrasi perlengkapan militer, dan dr. Satrio, yang menangani penerimaan dan registrasi perlengkapan medis.

Pada 29 Februari 2000, bertempat di Gedung Joang '45, Jl. Menteng Raya No. 31, diselenggarakan diskusi mengenai "Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949" dan jumpa pers oleh Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) dan Exponen Pejuang Kemerdekaan RI & Generasi Muda Penerus RI. Selain dihadiri oleh putra - putri alm. Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng, juga hadir Dr. Anhar Gonggong, yang mengakui, bahwa dia baru pertama kali melihat dokumen Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, tertanggal 18 Februari 1949 tersebut (Diskusi dan Jumpa Pers tersebut diliput dan diberitakan oleh beberapa media cetak, dan dua stasiun radio yang memberitakan langsung dari Gedung Joang).

Tanggal 2 Maret 2001, Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) bekerjasama dengan Yayasan Pembela Tanah Air, menyelenggarakan Diskusi Panel dengan mengundang wakil dari masing-masing versi. Untuk wakil versi pertama, yaitu Suharto pemrakarsa serangan 1 Maret 1949, semula panitia mengundang Paguyuban Wehrkreis III dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk mengirim seorang pembicara, yang akan mewakili versi pertama. Namun Paguyuban Wehrkreis III menjawab, bersedia mengirim pembicara dalam Diskusi Panel, namun baik Paguyuban Wehrkreis III maupun Yayasan Serangan Umum 1 Maret, menyatakan tidak mewakili versi manapun.

Sebagai panelis mewakili Paguyuban Wehrkreis III adalah Brigjen TNI (Purn.) KRMT Soemyarsono, SH (Beliau juga hadir dalam acara Ulang Tahun ke 91 dari dr. Wiliater Hutagalung pada 20 Maret 2001, yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang juga dihadiri teman-teman sdeperjuangan dr. W. Hutagalung dari Jawa Timur –seperti Komjen POL (Purn.) Dr. M. Jasin, alm. Mayjen (Purn.) EWP Tambunan, alm Mayjen (Purn.) KRMH H Jono Hatmodjo- dan Jawa Tengah) . Panitia juga mengundang Julius Pourwanto, wartawan harian Kompas, yang pernah menulis sesuai dengan versi pertama, yaitu Suharto adalah pemrakarsa serangan tersebut untuk menjadi nara sumber. Semula Pourwanto telah menyatakan kesediaannya, namun satu hari sebelum penyelenggaraan Pourwanto mengirim fax, yang menyatakan bahwa dia mendapat tugas lain dari harian Kompas.

Untuk versi kedua, semula ditanyakan kesediaan Atmakusumah Astraatmaja, penyunting biografi Hamengku Buwono IX, di mana dituliskan, bahwa HB IX pemrakarsa serangan tersebut. Namun Atmakusumah menyampaikan, berhalangan untuk hadir sebagai pembicara, karena sudah ada komitmen di tempat lain. Kemudian panitia menghubungi Penerbit Media Pressindo di Yogyakarta, yang menerbitkan buku "Kontroversi serangan Umum 1 Maret 1949", yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI) di mana disebutkan, bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan itu. Karena tidak mengetahui alamat TLAI, panitia memohon kepada penerbit, untuk meneruskan undangan kepada TLAI, namun sama sekali tidak ada jawaban, baik dari TLAI, maupun dari penerbit.

Melalui telepon, penulis menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta. Marsudi, yang sejak jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua, yaitu HB IX pemrakarsa serangan. Namun Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal 1 Maret 2001, di Yogyakarta akan diluncurkan buku baru untuk meluruskan penulisan sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu sudah final, dan tidak bersedia mendiskusikan hal tersebut. Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi terbuka, di mana hadir wakil-wakil dari tiga versi yang berbeda.


Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia